Sore 14 Februari 2015 itu, walau hujan gerimis, perjalanan relatif lancar. Pengunjung Jakarta Food Security Summit-3 (JFSS-3) 2015 sangat ramai, segerombolan anak-anak remaja terlihat bersemangat berfoto di depan booth dengan display yang mereka kagumi, valentine dengan cinta produk Indonesia, rupanya.
Hari ketiga diadakannya JFSS-3 2015, saya beserta anak dan suami berkunjung ke Jakarta Convention Center (JCC). Di awal perjalanan saya sempat khawatir dengan prakiraan cuaca dari BMKG yang memprediksi hujan dan angin kencang akan menyebabkan banjir rabu hari itu. Syukur, hujan gerimis saja.
Sementara anak dan suami saya menikmati live music diantara jeda demo baking dari Sinarmas yang terlewat ketika kami baru tiba, saya terlibat pembicaraan serius di depan stand Departemen Pertanian. Pak Sahid, salah seorang staff yang piawai memberi penjelasan mengenai produk sumber karbohidrat seperti jagung, singkong, sagu, dan umbi lain yang tertata di sampingnya. Kata beliau, salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah beras tiruan dan beras analog.
Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari kandungan karbohidrat yang mendekati atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal atau tepung beras. Sedangkan beras analog adalah beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras dengan teknologi pembutiran sehingga bentuknya akan bulat seperti sagu mutiara. Pak Sahid pun menyodorkan nampan yang berisi kue dengan bahan dasar tepung singkong pada saya, beliau mempersilahkan saya mencicipinya.Tekstur onde-onde kacang hijau yang saya icip terasa sangat lembut dan perlahan meleleh di dalam mulut. Enak sekali!
Tak jauh di depan Deptan, saya menemukan sekelompok ibu-ibu PKK dengan dialeg Surabaya-an yang kental sedang asyik bercengkrama sembari membagikan wadah untuk mencicipi sambal botol yang disusun di etalase kepada para pembeli yang bertandang. Sayapun mendekat, banyaknya peminat yang ingin merasakan pedasnya sambal khas Surabaya ini membuat saya ikut ngiler. Setelah mendapatkan antrian, saya meminta rekomendasi si ibu untuk sambal yang paling nampol, pilihan jatuh pada sambal teri dan sambal peda, masing-masingnya dibandrol dengan harga Rp. 20.000. Di booth yang sama, saya menemukan berbagai jenis kerupuk dan keripik yang tiap jenisnya disediakan tester. Dengan nikmat saya lahap. Satu persatu, sebelum saya kalap, saya segera beranjak sembari membeli rempeyek kacang dan kerupuk udang balado yang juga ditawarkan. Ah, makan malam nanti pasti akan terasa lebih semarak rempeyek dan kerupuk udang balado.
Tak terasa, telah satu jam saya menghabiskan waktu berkeliling seorang diri ketika tiba-tiba ada yang berteriak “Mama..!” dan memeluk kaki saya. Suami saya pun berbisik, “Sasha melihat demo jus tebu tadi,” saya dan suami segera berjalan melangkah mengikuti langkah Sasha yang berlari gembira menuju booth jus tebu. Tiba di lokasi, saya langsung pesan 3 cup besar dan langsung menikmati bersama-sama sembari duduk di kursi-kursi taman yang disediakan. Terlintas di benak, gambaran ketahanan pangan Indonesia menuju keberjayaan.
Bintang David untuk Rasamasa