Antara Dunia Digital Dan Ayam Goreng

Nama Shinta Dhanuwardoyo identik dengan Bubu, suatu digital agency yang didirikannya 17 tahun lalu, saat masih sedikit orang yang mengerti internet. “Bubu itu nama anjing saya yang hilang, kira-kira sebelum saya mendirikan perusahaan. Waktu itu saya butuh satu nama yang pendek dan pada 1996, segala macam nama domain masih bisa kita pilih,” tuturnya. “Ketika itu, saya sudah melihat kalau internet enggak mungkin enggak gede,bahkan bisa mengalahkan semua media.
Dengan kepercayaan itu, walau membangun perusahaan itu sulitnya minta ampun, ya diteruskan saja. Harus sabar!”
imbuh anak tertua dari empat bersaudara ini.
Siang itu Rasamasa berhasil mencuri waktu di antara dua meeting Shinta untuk makan siang bersama di Tesate, Pacific Place (PP). Sambil menikmati pesanan oseng kecipir dan sate ayam Ponorogo dengan latar musik degung yang mengalun, kami membicarakan dua spektrum yang berjauhan, dari dunia digital ke masakan rumah Shinta.
Belasan tahun tinggal di luar negeri, kebiasaan sarapan lengkap ala Indonesia masih terus terbawa, ya?
Saya itu enggak bisa kalau enggak sarapan. Anak-anak juga selalu makan nasi sebelum sekolah, Pk. 06.30 pagi. Kalau enggak sempat, saya masukkan di lunch box untuk dimakan di mobil. Orangtua suami juga begitu pada anak-anak saya, walau suami tidak sarapan lengkap karena makannya bisa mendekati jam makan siang.
Masakan kesukaan Anda cukup sederhana: ayam goreng. Padahal, banyak pilihan lainnya. Dari mana asalnya?
Setiap hari, menu di rumah ganti. Tahu, tempe, dan sayuran pasti ada. Ayam goreng juga sering, karena orang rumah tahu, itu favorit saya.
Ayam goreng itu comfort food saya sejak kecil.
Saya ingat, mama dan nenek saya sering masak ayam goreng dan sup ayam di rumah. They never failed me, always love fried chicken, then and now.
Hari-hari Shinta penuh dengan meeting, kalau di rumah siapa yang masak?
Unfortunately I don’t cook and I don’t like cooking,... ha-ha-ha.
Saya tinggal di Rempoa, Mama di Pondok Indah, dan mertua di Bintaro. Jadi, saya di tengah-tengah. Anak-anak pulang sekolah ke mama atau ke rumah mertua. Saya juga enggak harus kasih tahu pembantu lagi, mereka sudah tahu mau masak apa. Suami juga bukan fussy eater. Paling kalau weekend kami keluar makan bareng. Saya beruntung karena mama dan mertuaku masih ada dan tinggal di dekat rumah, jadi it’s a great ecosystem.
Mama saya jago masak, jadi selalu ada makanan di rumah, biasanya ayam goreng dan jangan bening (Rasamasa: sayur bening) dari bayam atau lodeh. Saya juga suka banget sop buntut buatan mertua. Anak pertama saya, Vrisqha (14), is such a good cook. Dia belajar sendiri masak pasta dan grilled salmon dengan saus krim, dari TV. Kayaknya habis ini dia akan sekolah masak.
Bicara soal dunia digital, seperti apa peran utamanya terhadap masa depan masakan Indonesia?
Digital and Indonesian cooking will go hand in hand. Melalui kekuatan digital, kita bisa memperkenalkan masakan Indonesia ke dunia. Apalagi lewat video and media sosial, masakan Indonesia bisa mendunia dengan mudah.