Berjibaku Demi Makanan Indonesia

Mencari makanan Indonesia dengan rasa otentik bukan perkara mudah buat saya.
Sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan sajian masakan Indonesia, karena memang lahir dan besar di Indonesia. Tanah air kita yang terdiri dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke tersebut memang kaya akan rasa. Bahkan kita bisa mengenal berbagai kota-kota di Indonesia lewat makanannya.
Masakan Nusantara bisa diibaratkan armada ratusan, bahkan ribuan, piring. Mulai dari mi aceh, satai padang, pempek, soto betawi, empal gentong, gudeg, rawon, bebek betutu, ikan woku, sampai coto makasar dan banyak lagi.
Hingga kini, saat saya tinggal di benua Amerika, tepatnya kota Portland, aroma masakan Nusantara masih selalu menggelitik hidung. Hanya saja, sulit mencari masakan Indonesia dengan rasa bak kampung halaman, di kota dengan populasi orang Indonesia yang tak sebanyak kota besar lain di Amerika (misalnya Los Angeles, San Fransisco atau di negara bagian Texas). Di Portland, restoran Indonesia bisa dihitung dengan jari. Itu pun satu per satu gulung tikar karena peminatnya kurang.
Jika dulu sewaktu masih di Indonesia saya sering bosan dengan makanan Indonesia, begitu menetap di benua yang dipisahkan Samudera Pasifik, saya selalu kangen masakan rumah dan jajanan khas tanah air.
Dulu, saya sering penasaran dengan makanan dari negara lain, seperti Turki, Lebanon, Korea, Jepang, Italia, dan Perancis. Atau, menu khas Cina yang ada di restoran, seperti masakan Shanghainese, Cantonese, Hokkien dan banyak lagi. Di Indonesia, saya juga tidak pernah masak makanan Indonesia sendiri karena ada pembantu atau Ibu yang memasaknya.
Kini, saya bisa memasak mulai dari iga penyet, soto betawi, rawon, kari ayam, sambal goreng petai, nasi uduk, sampai hidangan penutup seperti kue lopis dan bubur sumsum. Ibu saya sampai kaget ketika saya kirim foto-foto makanan itu ke smartphone-nya. Ada banyak suka-duka saat menyajikan menu Indonesia di rantau, apalagi di negara yang ketat soal standar kebersihan dan kandungan bahan makanan. Daun pisang dan daun pandan untuk membuat kue lopis tidak ada yang fresh, melainkan frozen. Gula Jawa untuk bubur sumsum sempat sirna setengah tahun terakhir di semua supermarket Asia. Rumornya, karena dianggap kotor. Gula palem buatan negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand, tidak seenak gula Jawa.
Di rantau, juga sulit sekali mencari aroma satai dari gerobak pinggir jalan. Tak ada lagi tukang siomay berkeliling naik sepeda. Atau, warteg yang menyajikan nasi campur komplet dengan rasa maknyus. Saya pun jadi sering tersipu, menertawai diri sendiri yang dulunya selalu masak makanan Indonesia dengan alasan ribet. Yang lebih suka masak spagheti di rumah karena praktis. Nyatanya, kini, saat jauh dari rumah, saya malah berjibaku di dapur Amerika. Modal saya adalah segala bumbu instan dengan harga 2-3 kali lipat, petai yang diburu dengan susah payah, dan aneka daun tropis dalam kemasan beku, yang dibeli dari supermarket Asia berjarak hampir satu jam berkendara dari rumah. Semua itu demi satu hal: kangen masakan rumah.
Itu sebabnya, sewaktu berkumpul dengan teman-teman sesama Indonesia untuk merayakan hari spesial, membawa hidangan Indonesia seperti sudah jadi kewajiban. Di sini, saya dan teman-teman merayakan Natal, Tahun Baru, Chinese New Year, dan Lebaran dengan aneka menu Indonesia. Bahkan hidangan khas Thanksgiving, yang biasa dirayakan dengan roast turkey, kami ganti dengan ayam panggang.