Masak Di Rantau

Buat Tempe Demi Sambal Tempe

buat-tempe-demi-sambal-tempe

Di Indonesia, tempe adalah santapan sehari-hari, tapi bagi saya merupakan kemewahan yang tidak mudah ditemui.

Saya sangat suka tempe. Bahkan, suami yang asli negeri Kiwi pun suka. Apalagi anak-anak saya. Belakangan ini, kami merindukan kembalinya sambal tempe di meja makan. Namun, mencari tempe di daerah saya bagai mencari jarum di tumpukan jerami. It's so rare, and can be impossible.

Beberapa tahun lalu, tempe organik masih bisa ditemui di sebuah supermarket ternama di Pukekohe. Namun, empat tahun belakangan saya tak menemukannya satu pun. Bahkan di toko yang menjual bahan masakan Asia pun tidak ada.

Dulu, kami sering beli tempe organik buatan sebuah perusahaan di Auckland. Rasanya tidak sama dengan tempe di tanah air, lebih asam. Bentuknya pun lebih kasar dan basah. Pernah suatu hari saya sedang berada pusat kota Auckland dan menyambangi sebuah toko di Hobson Street. Saya sempat kaget ketika pemilik toko berkata ada stok tempe di freezer.

What? Frozen tempe? Ya. Surprisingly, tempe itu serupa benar dengan yang dijual di Indonesia. Tapi, harganya amat mahal. Satu papan tempe organik dengan berat sekitar 120g dihargai $5.20 (Rp 50.900) kala itu, sedangkan tempe itu diberi harga $6.20 (Rp 60.678). Bayangkan! Betapa mewahnya tempe. Sejak itu, saya mendeklarasikan niat akan bikin tempe sendiri.

Saya pertama kali bikin tempe sendiri pada 2008 dan sempat saya tulis di HomeMadeS, food blog saya. Namun, setelahnya saya mulai sulit mencari kedelai dan ragi tempe. Saat itu saya hanya mengandalkan kiriman sisa ragi tempe lewat pos dari seorang teman di Christchurch. Ketika ia kembali ke tanah air, saya tak punya informasi di mana tempat membeli kedelai dan ragi tempe. Apalagi, toko bahan makanan Asia di Pukekohe terkadang tak selengkap yang di pusat kota.

Akhirnya, saya dapat informasi dari seorang teman yang bekerja di Auckland, bahwa ada sebuah toko di daerah North Shore yang menjual bahan-bahan makanan Indonesia, termasuk ragi tempe. Sejak itu, saya rutin memesan bahan makanan asli Indonesia lewat telepon. Ragi tempe dan kedelai pun jadi stok setia saya di pantry.

Membuat tempe tidak sesulit yang saya kira. Semasa masih sekolah dasar, saya sering membantu almarhumah Nenek membungkus tempe dengan daun pisang atau daun jati.

Nenek suka menggunakan daun jati sebagai pembungkus tempe, bahkan sempat berkelana ke sebuah tempat di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ketika mengunjungi relasi, lalu pulang ke rumah berbekal sekantung besar daun jati. Ketika daun jati mulai jarang ditemui, Nenek memakai daun pisang. Dia tiak pernah memakai plastik sebagai pembungkus tempe. Sementara karena daun pisang jarang ada di sini, saya memakai ziplock plastic bag sebagai pembungkus tempe.

Kendala pembuatan tempe hanya terletak pada suhu udara di tempat tinggal saya yang sering tidak menunjang, terutama pada musim dingin.

Sementara, tempe butuh suhu sekitar 30 derajat Celcius untuk proses fermentasi. Pertama kali membuat tempe, saya memakai inkubator sebagai wadah fermentasi, lalu mengatur suhunya pada 30 derajat Celcius. Ide memakai inkubator cukup efisien. Dalam waktu 24 jam, tempe sudah siap untuk dimasak.

Sayangnya, inkubator itu digunakan sebagai alat penetas anak-anak ayam di peternakan kami, jadi saya tidak bisa lagi memakainya. Karena saya tidak bisa mengandalkan suhu ruangan yang sering berubah-ubah dan tidak mencapai 30 derajat Celcius, saya memakai oven saya yang memiliki fungsi low temperature otomatis untuk fermentasi. Suhu terendah oven saya 40 derajat Celcius dan akan dipertahankan hingga esok harinya. Saya sempat kuatir suhu sebesar itu terlalu panas untuk fermentasi tempe, tapi ternyata tempe yang saya hasilkan memiliki penyebaran kapang putih yang sempurna.

Akhirnya, kami sekeluarga bisa menikmati sambal tempe buatan saya. Dibuat dengan homemade tempe, cabai dan tomat yang dipetik dari kebun, serta bawang merah dan bawang putih yang dipanen pertengahan Januari lalu. Saya pun berucap, alhamdulillah... feeling blessed!