Cintaku Bersemi Di Bali
Seorang wanita berkebaya menghampiri saya di sebuah meja di Casa Luna, Ubud.
Saya tersenyum pada Janet de Neefe, wanita kelahiran Melbourne, Australia, yang jatuh cinta pada Indonesia sejak kedatangannya pada 1970-an. Bersama suaminya, Janet mengelola Casa Luna, Honeymoon Bakery, Indus, juga Honeymoon Guesthouse. Di sela-sela kesibukannya mengurus Ubud Writers & Readers Festival 2013, Janet bercerita kecintaannya terhadap kuliner Indonesia, inspirasinya, juga tentang dua buku karyanya, Fragrant Rice dan Bali: The Food of My Island Home.
Apa memori pertama Anda tentang masakan Indonesia?
Kaki kodok dan gado-gado! Tahun 1974, saya dan keluarga dari Melbourne datang ke Ubud dan menginap di Hotel Tjampuhan. Di sana, saya makan satai dan menganggapnya makanan yang sangat eksotis. “Meat on a stick? Wow.. so cool!”. Saya juga terkesima saat makan gado-gado, hampir tidak percaya bahwa kacang tidak hanya untuk olesan roti. Sayuran dengan saus kacang? Wow! Saya juga ingat manisan salak yang disajikan dengan gula palem waktu itu.
Apa yang akhirnya membuat Anda memutuskan menetap di Bali?
Pertama-tama karena bertemu Ketut, suami saya. Namun, saya juga sangat tertarik terhadap masakan Indonesia, terutama masakan Bali. Saat itu, masakan ini terkesan aneh dan unik, saya dan kakak mencoba mencari buku resep yang mendokumentasikannya, namun nihil. Pada 1984, saya pun kembali ke Bali untuk berlibur, sekaligus mencari tahu mengenai makanannya. Masakan Bali menjadi tesis yang saya kerjakan saat itu.
Casa Luna saat ini menjadi salah satu tujuan utama banyak wisatawan ketika berkunjung ke Ubud, dari mana ide Casa Luna muncul?
Awalnya, saya ingin buat tempat untuk orang berkumpul di Ubud. Bukan sekadar restoran atau tempat makan, tapi ada pameran seni, tarian, dan musik. Nama “Casa” diambil karena saya yakin akan menghabiskan banyak waktu di sini dan saya ingin tempat ini jadi rumah bagi saya. Kata “Luna” saya pilih karena kami sudah punya Honeymoon Bakery waktu itu.
Apa yang menginspirasi Anda untuk berkarya dengan masakan Indonesia?
Saya jatuh cinta pada cita rasanya. Keunikan rasa dan teknik masak yang sangat berbeda menginspirasi saya terus berkecimpung dalam masakan Indonesia. Sangat disayangkan, masakan Indonesia kurang dikenal di luar negeri. Restoran yang ada pun tidak menyajikan rasa yang sebenarnya. Salah satu cita-cita saya adalah mengenalkan pada dunia, betapa fantastisnya masakan Indonesia.
Tantangan yang banyak ditemui menurut saya adalah seputar bahan baku, terutama rempah-rempah yang sulit dicari dan perlu proses menumbuk dan mencampur yang tidak mudah.
Masakan Indonesia bukanlah masakan yang mudah, namun orang bisa menemukan cita rasanya masing-masing melalui campuran bumbu-bumbu di dalamnya.
Buku Fragrant Rice tak hanya bercerita soal makanan dan budaya Bali, namun juga penggalan memoar seputar kejadian Bom Bali 2002. Apa yang membuat Anda menulis buku itu?
Menulis buku resep adalah cita-cita saya. Ketika kembali ke Bali pada 1985, saya mulai riset dan awal 2000 draft buku saya siap diterbitkan. Sayangnya, penerbit menahan penerbitan buku ini karena alasan bisnis. Saat itu, saya menambahkan bagian memoar mengenai insiden bom Bali.
Buku ini bertutur layaknya saya saat memimpin kelas masak di Casa Luna. Saya bertutur seputar pengalaman di Bali; cara saya mendidik anak-anak dengan adat istiadat Bali dan bagaimana makanan berkaitan dengannya. Yang menarik, Fragrant Rice bukan hanya membagi resep, melainkan juga bercerita tentang resep tersebut.
Buku kedua Anda, Bali: The Food Of My Island Home, yang terbit 2011, jadi finalis ajang “The Best in the World 2012” untuk kategori buku masakan. Apa resep favorit Anda dalam buku itu?
Kintamani Fish Soup, resep sup ikan (mujair) dengan cita rasa manis dan asam yang saya cicipi di Kintamani. Resep ini tipikal masakan Bali yang tidak menggunakan santan. Orang Bali suka makanan berkuah dan bercita rasa kuat, yang dalam resep ini berasal dari penggunaan serai dan daun jeruk purut.
Apa harapan Anda untuk kuliner Indonesia?
Saya berharap masakan Indonesia lebih dihormati sebagai kuliner yang istimewa.
Menurut saya, masakan Indonesia adalah bintang di antara kuliner Asia Tenggara lainnya. Supaya cita rasa otentiknya tetap terjaga, kita tidak boleh sekadar tahu dan kenal, namun juga bisa memasaknya dengan baik dan benar.
Saya juga berharap masakan Indonesia bisa lebih diekspos dalam menu penerbangan internasional menuju Indonesia. Beberapa kali saya di sajikan makanan barat saat berada dalam maskapai penerbangan asal Indonesia. Padahal, menu dalam penerbangan adalah salah satu gerbang utama untuk para wisatawan mencicipi cita rasa khas Indonesia.