Masak Di Rantau

Eksperimen Rasa Indonesia Di Italia

eksperimen-rasa-indonesia-di-italia

Jika saja saya dan teman-teman sesama mahasiswa Indonesia tinggal di Roma atau di Milan, mungkin memasak hidangan Indonesia akan lebih mudah. Butuh kreativitas tingkat tinggi untuk menghadirkan cita rasa Indonesia di kota kecil seperti Rende, terutama karena sangat sulit menemui bumbu dan bahan khas Indonesia.

Kami harus putar otak untuk menggantikan bahan-bahan yang tak bisa ditemukan. Penggemar kecap manis seperti saya harus gigit jari karena di sini tidak ada yang jual. Saya harus meracik kecap manis buatan sendiri dengan mencampur kecap asin, air, gula palem, dan sedikit air perasan lemon. Rasanya? Tak beda jauh dengan kecap bergambar burung itu, hibur seorang teman.

Eksperimen yang berhasil kemudian membuat saya lebih berani memberi tambahan rasa lain ke dalam kecap manis buatan sendiri ini.

Supaya lebih gurih, terkadang saya tambahkan bawang putih yang sudah ditumis terlebih dahulu. Ada juga yang mengusulkan supaya ditambahkan cabai kering, supaya rasanya lebih pedas dan lebih asyik untuk dijadikan saus colenak.

Sementara untuk masakan yang butuh sambal kacang, seperti gado-gado, pecel, atau satai, ada tantangannya sendiri. Kami sempat bingung karena tidak bisa menemukan bumbu kacang yang sudah jadi ataupun kacang tanah mentah. Setelah berhari-hari keliling, akhirnya kami punya ide memakai selai kacang yang tawar atau belum diberi tambahan gula.

Selai kacang itu kami campur dengan gula palem, bawang putih, perasan lemon, dan kecap. Voila,.. jadilah bumbu kacang super lezat, siap untuk jadi salad dressing. Teman-teman Italia cukup terkejut dengan rasanya. Buat mereka, sungguh tak terbayangkan menyantap sayuran segar dengan saus yang terbuat dari kacang.

Pengalaman unik juga datang setelah kami mengunjungi festival cokelat yang diadakan setahun sekali di kota Rende. Di sana, kami menjumpai selai cokelat dengan aneka rasa, termasuk rasa cabai. Salsa al cioccolato piccante, yang berarti selai cokelat pedas, diolah dengan cabai, yang merupakan produk khas Italia selatan. Penasaran, kami tergoda untuk mencoba. Ternyata, rasanya seperti bumbu rujak, lho! Penemuan baru ini sungguh menghibur. Kami jadi bisa ngerujak sekarang. Teman-teman Italia kami hanya bisa melongo: selai cokelat, kok, dimakan dengan buah?

Tentu saja tidak semua eksperimen kami berhasil. Percobaan membuat perkedel saja, kami harus mengulang dua-tiga kali.

Ternyata, jenis kentang di sini bermacam-macam dan tidak semuanya cocok untuk diolah menjadi perkedel. Saya juga pernah gagal total membuat pempek. Karena tidak ada tepung sagu, saya nekat membuat adonan dengan tepung terigu dan tepung maizena. Saat direbus, adonan pempek tak kunjung kenyal. Setelah digoreng, malah lebih mirip cimol atau cireng.

Berkat kunjungan ke Belanda dan bertemu dengan teman yang berbaik hati mau mengirimkan pasokan ke Rende, saya pun dapat ide untuk buka warung. Apa saja yang dijual? Mulai dari mi instan, sambal pecel, saus sambal, kecap manis, hingga makanan yang sering membuat kangen: tempe dan tahu!

Lalu, apakah keberadaan warung ini mematikan eksperimen dan kreativitas kami? “Bukan mematikan kreativitas, tapi membenarkan rasa,” ujar Eka, mahasiswi Indonesia yang hobi memasak dan mengundang makan. Justru sejak bertemu dengan kemiri, ketumbar, dkk., kami jadi semakin hobi menyalurkan kreativitas lewat kuliner Indonesia. Rasa kangen kami pada tanah air pun terobati.