Dari Redaksi

Jajanan Dan Memori Masa Kecil

jajanan-dan-memori-masa-kecil

Bagi saya, makanan mampu menyimpan memori. Dan, jajan saat pulang kampung merupakan cara saya memanggil kembali memori masa kecil.

Saya selalu menikmati momen nostalgia jajan gudangan dan jenang gempol di Pasar Kotagede. Rencananya saya ingin wisata kuliner di pasar Kotagede. Jajan dan langsung makan di tempat penjualnya. Tapi ternyata jarang ada penjual jajanan di pasar yang khusus menyediakan tempat makan bagi pembelinya, bahkan kursi plastik sederhana saja nggak ada. Yowis, kalau gitu, dibawa pulang aja.

Memang begitu adanya, persis yang dibilang mas Djaduk Ferianto, seorang seniman asli Jogja, waktu saya pernah bertemu tidak sengaja dengan beliau di salah satu tempat makan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Secara random kita membahas perbedaan kebiasaan jajan antara orang Jogja dan orang Solo. Kurang lebih kesimpulannya, orang Solo itu senang jajan dan makan langsung di warungnya. Sedangkan orang Jogja, lebih senang jajan untuk dibawa pulang.

Ketika pulang kampung, rute napak tilas saya selalu bergerak dari tempat jajan satu ke tempat jajan lainnya. Saya menikmati jajanan saya, sekaligus mengenang sambil bercerita tentang Jogja tahun 90’an dengan teman jalan-jalan saya, entah itu dengan suami, orang tua, adik, om, atau adik sepupu saya.

Misalnya waktu saya jajan jenang brongkos jangan krecek di kawasan makam raja-raja Mataram, Imogiri. Di sana memang terkenal sebagai tempat sarapan jenang yang enak. Biasanya hari Minggu pagi, banyak keluarga atau anak-anak muda yang ramai-ramai naik sepeda ke sana. 

Jenang di Jogja itu, bubur yang terbuat dari beras yang dimasak bersama santan dan diberi sedikit garam. Lain halnya dengan jenang di Temanggung. Kalau kamu minta jenang sama orang Temanggung, yang datang adalah tepung ketan yang dimasak dengan gula dan santan sampai caramelized atau orang Betawi bilang, dodol. Sedangkan brongkos itu ibaratnya seperti sup daging berkuah hitam dari keluak dengan tambahan tahu, telur rebus, kacang tolo, dan melinjo. Jika ada yang bilang brongkos mirip rawon, ah, saya mah kurang setuju, hehe… Nah, kalau krecek, berupa kerupuk kulit yang dimasak dengan santan dan rasanya pedas. Dalam hidangan gudeg ada juga krecek, tapi versi kering. Kalau krecek di jenang ini, versi berkuah. 

Dulu, jenang brongkos jangan krecek ini jadi motivasi dari Om saya agar saya rela naik sepeda jauh-jauh dari Kotagede ke Imogiri. Bayangkan, jaraknya kurang lebih 12 km. Tapi, saya mampu tuh! Tahun 2013 lalu, saya coba ulang naik sepeda sejauh itu, ternyata teler saudara-saudara!