Dari Redaksi

Kau Terbaik Ku

kau-terbaik-ku
Beberapa bulan belakangan ini suara di dapur tak lagi seramai dulu. Dapur semakin sering saja hening, jauh dari keceriaan seperti biasanya.Tangan terampil itu rupanya sudah mulai letih, tidak lagi sepiawi dan selincah dulu.

Baru kurang lebih satu bulan lalu aku rayakan usia barumu bersama seluruh keluarga. Rupanya, jumlah usia baru yang kau miliki, menyatakan juga kepada kami, bertambah pula penurunan kemampuan fisikmu. Hari-hari memang bagaikan asap dan bayang-bayang, cepat berlalu, kupikir aku masih kecil ternyata sudah tua juga.

Engkau memang tidak lagi segesit dulu. Lanjut usia tak bisa dipungkiri lagi kehadirannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Mama pun harus mengakui bahwa keterampilan tangannya memainkan alat-alat masak di dapur dan kemampuannya meracik aneka bumbu serta mengolahnya menjadi hidangan lezat sudah menurun. Demikian pula saya harus menerimanya, meski beberapa kali saya menemukan diri ini menyangkali kondisi itu.

Ketika sendirian, kala kesenyapan menyergap, air mata ini pun menitik, desakan arusnya terlalu kuat untuk dibendung. This is My Father World, download lagu yang dikirim seorang sahabat via WA (WhatsApp) menjadi sebuah kekuatan untuk memahami kondisi baru ini.

Di kesempatan lain, kala saya terjun ke dapur Mama, mencoba memasak hidangan sederhana, eh ternyata Mama sudah ada dekat saya. Tanpa suara Mama pun ambil bagian mengerjakan yang beliau pikir akan membantu saya menyelesaikan kerjaan dapur yang sedang saya lakoni. Dan, selalu saja luwes tindakan beliau, benar-benar tidak membuat saya jadi ribet di dapur, malah jadi ringkes. Kami menjadi teamwork yang harmonis. Diam-diam, saya pun senyum bahagia atas duo kami ini.

Saya harus mengakui kekuatan Mama sebagai Ibu Rumah Tangga. Banyak sudah kebaikan yang beliau lakukan dari dapur untuk saya. Saya masih ingat, bagaimana Mama, repot menyusun menu dan memasak bermacam hidangan untuk menjamu kerabat dan tamu yang bertandang ke rumah beliau. Termasuk, kawan-kawan saya yang mampir ke rumah beliau. Dia ikut repot, memastikan saya akan menyuguhkan hidangan apa untuk kawan-kawan. Mama memang senang menjamu, baginya tak afdol kalau tamu datang tak dijamu, sesederhana apa pun hidangan itu.

Saya menjadi seperti sekarang pun, tak lepas dari makanan buatan tangan Mama. Puluhan tahun tangan Mama yang penuh kasih itu, memasakkan makanan buat saya. Pramuwisma dapat dipastikan hanya diizinkan Mama membantu sampai tahap persiapan bahan saja. Akibatnya, saya akan peka kalau itu masakan Mama atau bukan.

Akibat lain, saya ingat benar bagaimana kulit ayam menjadi bahan makanan asing buat saya. Soalnya, di dapur Mama ayam itu tidak berkulit, jadi tak heran ketika di suatu masa kulit ayam goreng pernah menjadi popular di gerai makanan ayam goreng, saya justru terheran-heran, “ kulit ayam bisa dimakan toh?” Dan, akibat kepiawian Mama di dapur, lidah dan tenggorakan ini pun akan amat kehausan usai menyantap hidangan dengan tambahan bumbu penyedap buatan pabrik, alias mecin. Belum lagi, soal buah, bagaimana saya jadi suka banget buah dan suka benar sayur. Semua itu hanya membuktikan, Mama selalu memberikan yang terbaik buat saya dalam hal makanan. Cooking is love.

Saya memang anak yang dibesarkan oleh makanan Mama, saya suka itu! Saya akan lanjutkan teladan benar mu Mama, pasti! Tidak hanya makanan, dalam soal pakaian juga sama, keterampilan beliau menjahit yang diperoleh saat masa sekolah di SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri), jadi wujud kasih Mama yang lain. Masa kecil dulu, baju-baju buatan Mama meramaikan lemari baju saya. Warna-warni bahan pilihannya membuat cerah lemari kayu di kamar saya.

Kini, tangan itu sudah makin keriput, kepiawiaannya pun menurun. Pernah beberapa kali Mama memasak, hasilnya justru di luar rencana dari perencanaan awal, meski ini bukan keinginan beliau, lebih karena dementia alzheimer yang mulai hadir menjadi bagian dari hidupnya belakangan ini. Lagi-lagi, air mata ini pun menitik.

Mama, maafkan saya kalau belum dapat menjadi gadis terbaik di dapur mu. Kalaupun, naluri meracik dan memasak saat ini bukan sesuatu yang asing bagi saya. Itu, semata karena apa yang sudah engkau teladankan padaku berpuluh-puluh tahun di rumah kita. Dengan setia engkau memberi teladan bagiku menjadi seorang perempuan dan Ibu.

Terima kasih, engkau sudah menatang aku hingga kini. Terima kasih, engkau membiarkan aku tumbuh menemui bentukku sebagaimana tujuan aku diciptakan-NYA. Engkau terbaik ku Mama. Kau hanya tersenyum, sambil (selalu) bertanya, “ sudah berdoa boru (panggilan anak perempuan dalam bahasa batak)?” kala kaki ini melangkah ke luar dari pintu rumah mu.

Selamat Hari Ibu!