Dari Redaksi

Kopi Si Garar Hutang

kopi-si-garar-hutang

Tradisi ngopi tidak hadir sebatas di ruang keluarga, di kedai kopi pinggir jalan, tapi juga sampai ke kedai kopi artisan. Apakah kopi Indonesia sudah jadi tuan di negeri sendiri?

Ngopi memang tidak lagi dominasi orang-orang tua atau kakek-kakek kita. Tapi telah jadi milik orang muda termasuk perempuan! Saya masih ingat pasca tsunami ketika masuk ke kedai kopi Ayah di Aceh, semua mata memandang saya. Rupanya, ngopi itu pernah jadi ranahnya laki-laki saja. Nah, Maret lalu saya dikasih kesempatan oleh MDGs (Millennium Development Goals) Indonesia presentasi tentang kopi Indonesia di IMA Youth Forum MDGs, di situ justru banyak orang mudanya, kami, laki-laki dan perempauan hadir bicara kopi. Tidak dari Jakarta saja tapi juga dari propinsi lain di Indonesia.

Akhir Mei lalu lain lagi cerita saya tentang kopi. Waktu itu, saya bertandang ke desa kecil yang letaknya kira-kira 3 km dari Sibisa, Sumatera Utara. Tidak seperti nama-nama kopi Sumatera yang sudah melalang ke berbagai negara dunia, sebut saja, kopi Sidikalang, Mandailing kopi, hingga kopi Gayo Aceh. Nama kopi yang satu ini terdengar asing diteling saya. “ Kopi si garar hutang, namanya,” kata seorang bapak tua yang menemani saya minum kopi di kedai pagi itu.

Sebelumnya saya sudah dapat info dari kepala desa di sana memang, bahwa penduduk desa (kurang lebih 800 jiwa) sebelumnya bertanam padi dan bawang sebagai mata pencaharian sebelum bertanam kopi. “ Belakangan karena tanaman kopi cocok ditanam di sini, beramai-ramai kami, petani padi ini bertanam kopi.” Lanjut bapak tua itu.

Tertarik penuturan beliau, saya pun memesan secangkir kopi pada pemilik kedai, dengan pesan,” Pakai kopi si garar hutang ya inang (bahasa batak untuk ibu).” “Wah, tidak ada itu, kami pun tidak pernah minum kopi si garar hutang itu padahal kami tanam di kebun pun,” sahut suara dari seberang sambil menyeduh kopi schacet harga seribuan lebih (tanpa bertanya lebih dulu pada saya). “Kok bisa begitu, inang?” Tanya saya.

Bapak tua pun menyambung percakapan saya dengan pemilik kedai, dengan mengatakan, “ Di kampung ini kami cuma bertanam biji kopi, tidak pun menggiling biji kopinya. Tanah kami bagus, jadi kalau tanam saja tidak perlu modal besar. Tempo tiga bulan sudah petik biji kopi, jemur, kupas, lalu jual,” ungkapnya. Menurut amang (bahasa batak untuk bapak) yang hampir berusia 80 tahun itu, maka nama kopinya, kopi si garar hutang (bahasa batak) yang artinya, kopi si pembayar hutang!

“ Dengan menanam kopi ini kami bisa melunasi hutang, dan bisa hutang baru lagi karena 3 bulan lagi sudah dapat uang untuk melunasinya, tutur beliau. Kopi ini laku dijual, tempo tiga bulanan uang sudah ditangan,”lanjut beliau. “ Memang harganya jadi murah, tapi buat kami itu sudah bisa menyambung hidup,”lanjutnya sambil menyeruput kopi instan yang sama dengan saya. Dahi saya pun berkerenyit, seraya ngebathin, “segitunya.

” Miris memang nasib petani kopi kita. Saya jadi teringat, cerita kopi lain, dari pegunungan Papua, di desa Kiwirok. Nasibnya sedikit lebih baik (mungkin?). Namun, tetap saja kepayahan (hingga kini) menjual produk kopi patennya. Ketika perusahaan dan jaringan kedai kopi global asal Seattle, Washington, Amerika Serikat, yang merupakan terbesar di dunia ingin membeli kopi bubuk buatan Kiwirok. Ketersedian jadi soal!

Dan, di bulan Juni , sebelum puasa datang, ditemani hujan bulan juni yang mulai rintik saya mendapat kabar, di Blizt Grand Indonesia seorang Indonesia luncurkan film dokumenter perdananya. Biji Kopi Indonesia, judulnya. Tak sempat nonton memang, tapi dengar-dengar info kopinya beragam dan luas banget. Terlalu banyak ceritanya. Kalau begini adanya, gimana ya cara membaca kopi Indonesia agar tidak salah tafsir?