Masak Di Rantau

Kue Semprit Yang Merakyat

kue-semprit-yang-merakyat

Pendopo adalah sebuah desa di Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim (sekarang Kabupaten Pali). Sejak dulu, desa ini memiliki kekayaan tambang emas hitam, baik minyak bumi maupun batubara, yang jadi daya tarik utama bagi perusahaan migas swasta dan negeri. Perusahaan-perusahaan tersebut lantas mendirikan ekspansi pengeboran di luar pemukiman rakyat, sekaligus membangun perumahan bagi pegawai. Di desa ini saya menjalani masa kanak-kanak yang tak terlupakan pada era ’70-an.

Bagian dari kenangan itu adalah kue semprit. Saat Lebaran, hampir semua rumah yang saya tandangi bersama orangtua, ketika bersilaturahmi ke kerabat dan kolega, menyajikan satu-dua stoples kue semprit. Berjajar bersama kue-kue lainnya, nastar, putri salju, kastengel, atau kue kacang. Beraneka bentuk dan rasa kue semprit disajikan. Ada yang polos, ada yang didandani dengan belahan sukade, kepingan cokelat, butiran meses cokelat, atau manisan buah ceri. Ada yang berbentuk mawar besar atau kecil, ada pula yang bulat melingkar atau panjang seperti jari telunjuk. Ada rasa polos (mentega), vanili, cokelat, keju, santan, pandan, jeruk, atau kombinasi.

Ketika saya dan Ibunda berbelanja ke Pasar Cinde Palembang untuk keperluan lebaran, yang pertama tampak di mata saya adalah kue semprit yang dijajakan dalam kemasan besar, atau dalam stoples-stoples bagaikan kembang dahlia dengan putik merah, yang disusun sedemikian rupa untuk menarik pembeli. Begitu pula yang saya saksikan di Pasar Agung Depok, Jawa Barat. Bukankah itu pertanda betapa merakyatnya kue semprit itu, tidak kalah dengan pesatnya tren rainbow cakes saat ini!

Namun, kue semprit yang sempat mampir di lidah kanak-kanak saya dan amat saya sukai adalah kue semprit kelapa yang dibuat oleh salah satu almarhumah nenek saya. Entah kenapa, saya menyukai wangi yang keluar dari kue semprit itu, padahal setahu saya bahan-bahan yang dipakai almarhumah Nenek tidak semahal dan selengkap yang dipakai oleh teman-teman penjual kue modern atau bakeri yang saya kenal sekarang. Bahkan, kue sempritnya tak memiliki topping yang sophisticated, hanya setitik selai stroberi yang sederhana.

Mungkinkah karena nenek memakai tungku api, pikir saya. Atau barangkali kelapa tua segar dari kebun dan santan yang diperas sesaat sebelum membuat adonan kue bisa memberi rasa lebih gurih dibandingkan santan kalengan yang sudah melewati proses-proses tertentu. Atau, justru bahan-bahan tidak mahal itu yang memberi kontribusi rasa yang luar biasa. Atau, barangkali sensor rasa lidah kanak-kanak saya belum “terkontaminasi” burger, chips, steak, black forest, atau biskuit modern, sehingga memberikan apresiasi lebih tinggi terhadap kue tradisional. Entahlah.

Manakala Ibu Fatmah Bahalwan, pemilik katering dan kursus masak Natural Cooking Club membagi resep kue semprit lewat milisnya, saya tidak bisa menyembunyikan luapan kegembiraan. Saya merasa diberi kesempatan untuk mencicipi lagi kenangan indah dari masa kanak-kanak.

Dengan sedikit modifikasi dengan pemakaian bahan-bahan non-gluten, barangkali saya bisa menghadirkan kembali rasa kue semprit bikinan nenek saya dalam stoples.

At least, I will make my late grandmother happy.

Membuat kue semprit tidak butuh tenaga besar. Persyaratan mutlak yang mesti saya miliki adalah kantung adonan dan spuit untuk menyemprot adonan ke atas loyang, dan ibu jari yang tangguh untuk menyemprot adonan kue semprit yang terkadang memiliki konsistensi jauh lebih padat ketimbang adonan macaroons.

Namun, setelah beberapa kali bereksperimen dengan rasa, saya belum menemukan tekstur yang pas untuk disejajarkan dengan cita rasa kue semprit kelapa almarhumah Nenek. Pada satu eksperimen, saya menggunakan kelapa kering yang diblender halus, sehingga menyatu dengan adonan sekaligus memberikan tekstur kelapa yang ringan. Di lain eksperimen, saya menggoreng kering kelapa kering, kemudian ditumbuk halus, sehingga tekstur kue terasa lebih “matang”. Pada eksperimen ketiga,

Saya menggunakan kombinasi kelapa kering yang diproses hingga halus dalam food processor, coconut cream dengan konsentrat santan 65%, dan coconut essence sebagai tambahan rasa.

Hasilnya lebih mendekati rasa kue kering almarhumah Nenek, meskipun belum sempurna bentuk dan rasanya. Well, saya pikir, setidaknya saya telah mencoba. Bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini? Namun, selama kita memasak dengan kesungguhan, tentunya akan menghasilkan sebuah karya yang mampu diapresiasikan. Buktinya, kue semprit telah menjadi cemilan kesukaan anak-anak saya!