Lestarikan Kuliner Nusantara Di Rantau

Hangat dan sederhana, itulah kesan yang saya tangkap saat mengenal Yuli Utami. Empat tahun tinggal di Eropa tanpa bantuan asisten rumah tangga tak menyurutkan semangatnya memasak hidangan Nusantara.
Ibu dari satu anak bernama Sahnon ini pandai memasak. Yang membuat saya kagum adalah ketekunannya dalam menyajikan menu Nusantara dalam keseharian keluarganya. Selain untuk menjaga kehalalan asupan makanan keluarga, lidah mereka terlanjur cinta terhadap citarasa masakan Indonesia. Walau besar di Eropa, pizza dan pasta bukanlah makanan favorit Sahnon.
“Saat jauh di rantau, hidangan Nusantara sesederhana apa pun akan terasa jauh lebih nikmat. Sebab, butuh niat dan usaha dalam mengolahnya,” kata Yuli.
Wanita 34 tahun ini mengaku tak begitu pandai memasak pada awal pernikahannya. Apalagi, mengingat saat tinggal di Balikpapan, ia bisa mendapatkan makanan khas Indonesia nan nikmat tanpa harus bersusah-payah mengolahnya. Namun, ketika harus ikut suami, seorang geologist di sebuah perusahaan minyak, bertugas di Pau, Prancis, pada 2009 silam, mau tak mau Yuli belajar berbagai resep masakan Indonesia demi memenuhi selera makan keluarga. Mulai dari media online hingga cetak, semua ia pelajari untuk mendapatkan citarasa hidangan Indonesia yang sempurna.
Hasilnya tak sia-sia. Kini, ia bisa memasak berbagai hidangan, bahkan yang butuh proses sangat lama dan rumit sekalipun. Sebut saja bakso, siomay, rendang, rawon, mi ayam, pempek, bubur ayam, soto, dan lain-lain. Bahkan ia mampu membuat tempe sendiri!
“Suami dan anak maunya makan masakan Nusantara. Semakin lama dan ribet proses masaknya, semakin lahap mereka makannya,” cerita Yuli saat saya temui di kediamannya di Copenhagen, Denmark.
Pengalaman tinggal di Prancis dan Denmark mengajarinya untuk kreatif menemukan dan mengganti bahan-bahan makanan dan rempah asli Indonesia dengan yang tersedia di toko Asia.
Di Denmark, Yuli punya dua toko langganan di area Asian stores, yang letaknya tepat di belakang Stasiun Pusat Copenhagen. Bahan makanan halal pun telah banyak tersedia di supermarket setempat. Harga yang cenderung mahal tidak membuatnya kehabisan akal dalam mengolah makanan. Contohnya, saat membuat pempek yang biasanya menggunakan ikan tenggiri, Yuli menyiasati dengan memakai frozen fish paste. Sementara untuk membuat martabak telur, ia menggunakan roti paratha beku sebagai kulit ketimbang kulit spring roll, yang biasa digunakan juga sebagai alternatif.
“Biar enggak ribet, berlama-lama di dapur, saya bikin dalam jumlah banyak. Lalu, dibagi jadi beberapa porsi dan disimpan di freezer. Tinggal dibiarkan pada suhu ruangan, panaskan sebentar dalam microwave, tersedia, deh, rendang di meja makan. Enggak sanggup juga kalau nongkrong terus seharian di dapur,” ungkapnya.
Kalau pulang ke Indonesia, bisa dipastikan sebagian besar isi kopernya adalah bumbu dan makanan Indonesia, dari ikan asin, teri medan, abon, petis, petai, daun singkong, daun melinjo, kecap manis, saus sambal, aneka bumbu kering, dan bumbu-bumbu lainnya.