Malbi Mengenang Lebaran Di Palembang

Saya selalu gembira ketika Lebaran tiba. Karena pada hari indah ini, salah satu tante saya biasanya akan datang membawa semangkuk Malbi, semur rempah Palembang, disertai beberapa rangkai ketupat, sebagai bagian dari tradisi keluarga.
Jikapun tidak, saya selalu menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumahnya. Karena saya tahu, Malbi dan tante saya adalah dua kombinasi yang tak terlepaskan—it's in the 'wong kito' root, you really can't deny it. Dan, untuk menikmati ketupat Malbi beserta sambal goreng nanas sembari bertukar kabar dan becawa (bercanda) dengan para sepupu.
Saya menyantap Malbi untuk pertama kalinya di tahun '90-an, ketika diundang ke kenduri pernikahan seorang teman. Acaranya di sebuah tempat di daerah pedalaman, yang bisa dicapai dengan memakai perahu besar menyusuri Sungai Musi.
Rumah mempelai wanita berupa rumah kayu tinggi yang dibangun di pingir aliran Sungai Musi, sehingga setelah mencapai kampungnya, kami masih harus naik perahu kecil lagi. Semua kegiatan dilakukan di atas air, bahkan berbelanja ke warung pun naik perahu. Saya sempat membantu di dapur bersama ibu-ibu warga kampung dan keluarga mempelai wanita, membuat sebuah sajian khas ini sebagai bagian jamuan makan siang. Wangi rempah yang beriringan dengan asap dapur, disertai gelak tawa handai taulan, sahabat, dan keluarga mempelai, sungguh mengikat rasa camaraderie di antara kami.
Malbi punya aroma dan rasa yang khas. Wangi rempah dan kuah yang membalut daging empuk dengan sensasi manis gurih amatlah adiktif. Saya sangat menyukai dua kombinasi rasa ini. Dalam penyajian, Malbi sering dipadukan sambal goreng nanas (dengan atau tanpa ikan teri) atau sambal tempoyak, seperti dalam pernikahan teman saya itu. Dua jenis sambal pedas ini mengimbangi rasa manis gurih, sehingga menikmati Malbi bagaikan sebuah perjalanan kuliner yang sederhana namun penuh sensasi tak terlupakan.
Tidak sulit memasak Malbi. Semua bahan yang diperlukan umumnya ada di pantry saya. Daging sebagai bahan utama pun tak jadi masalah. Sebagai peternak kecil, kami punya beberapa ekor sapi ternak yang dipelihara hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan juga bagian dari usaha mengonsumsi bahan makanan yang disarankan secara Islamiah. Jadi, tak ada alasan buat saya untuk tidak memasak Malbi.
Gurihnya Malbi didapat dari perasan santan kental segar dari satu butir kelapa tua. Namun, karena bahan ini tidak tersedia di toko bahan makanan Asia di daerah saya, bentuk kalengan dengan konsentran santan lebih dari 60% sudah cukup.
Terkadang, dengan menambahkan kelapa parut sangrai yang digiling hingga halus dan berminyak, saya sudah bisa menghasilkan Malbi yang gurih.
Ada banyak sekali variasi resep Malbi. Ada yang menggunakan bumbu segar, seperti jahe, lengkuas, dan serai. Ada yang tidak menggunakan bawang merah. Ada yang menonjolkan aroma pala dengan menekan penggunaan merica putih, ada juga yang sebaliknya. Suatu ketika saya bereksperimen dengan beberapa rempah untuk menambah aroma Malbi. Saya lalu sampai pada bumbu bubuk ready made, Garam Masala. Tambahan 1½ sendok makan Garam Masala untuk 1 kg daging sapi sudah memadai untuk menghasilkan Malbi yang wangi.
Saya sampai speechless, karena aroma Malbi dengan Garam Masala ternyata serupa dengan yang dibikin tante saya. Sungguh, rasanya seperti kembali berlebaran di Palembang!
Apa pun pilihannya, Malbi tetap enak bila dimasak dengan cinta. Dan kecintaan saya terhadap aroma pala dan rempah menjadi signature dish saya untuk setiap hidangan khas yang diminati keluarga.