Masak Bersama Anak Anak

Kebersamaan saya di dapur dengan anak-anak menjadi momen istimewa untuk belajar dan juga membuka kembali kenangan tentang tanah air lewat masakan Indonesia.
Tinggal di daerah pemukiman di Ohio, Amerika Serikat membuat kami harus memasak sendiri kalau sedang ingin makanan Indonesia. Di sekitar rumah memang banyak pusat perbelanjaan, tapi sayangnya tidak ada restoran Indonesia. Dulu ada, tapi sudah tutup beberapa tahun lalu. Sedangkan restoran Indonesia terdekat harus dicapai dengan mengendarai kendaraan pribadi selama 4 jam. Mengingat dua buah hati saya tidak terlalu sering pulang ketanah air, saya pun harus lebih bersemangat menyuguhkan masakan Indonesia di rumah. Harapannya, mereka jadi bisa mengenal dan merasakan seperti apa masakan Indonesia.
Memasak makanan Indonesia bersama anak-anak lantas menjadi salah satu kegiatan rutin saya. Mereka senang sekali kalau bisa andil dalam proses memasak. Rasa ingin tahu anak-anak yang besar, membuat mereka sering menanyakan nama bumbu yang dilihat dan apa fungsinya. Mereka juga bertanya mengapa masakan tertentu harus direbus terlebih dulu, dan berbagai pertanyaan lainnya. Untuk masakan lauk pauk, anak-anak sering menawarkan diri membantu dengan mengaduknya. Namun, mengingat factor keamanan, saat ada masakan yang harus digoreng atau ada peralatan dapur atau bahan yang panas, mereka akan menjauh dan berhati-hati.
Anak-anak paling suka saat memasak makanan penutup, seperti jajanan pasar dan kue. Anak-anak juga suka membuat minuman segar, misalnya es campur, es buah, atau minuman lain dari hasil eksperimen dengan sirup dan bahan pelengkap lainnya. Salah satu jajanan pasar yang bikin saya kangen adalah satai cenil dari kantin sekolah dasar saya dulu. Warnanya begitu menarik (merah, hijau, dan putih), rasanya manis, teksturnya kenyal, dan gurih dengan tambahan kelapa parut. Dulu harganya tidak mahal, hanya 25 Rupiah. Dengan uang saku saya sebesar 100 Rupiah semasa itu, saya bisa menikmati dua tusuk satai cenil, dan masih ada sisa uang untuk ditabung.
Setelah mencari resep di internet, saya pun mencoba membuat satai cenil bersama anak-anak. Prosesnya tidak sulit. Sebelum memulai, saya siapkan bahan-bahannya, lalu saya jelaskan langkah-langkahnya pada anak-anak. Mereka biasanya berdiri di atas bangku supaya bisa melihat lebih dekat. Setelah adonan jadi dan dibagi, mereka menambahkan pewarna: putih, merah, dan hijau. Setiap anak mengaduk dalam mangkuk terpisah sambil tertawa, karena adonannya lengket sekali. "Seperti lem, ya, Bun," celoteh mereka.
Membulatkan adonan menjadi bola pun jadi tantangan tersendiri bagi anak-anak, namun mereka tetap berusaha meski akhirnya hanya berhasil membulatkan sedikit saja. Setelah bulatan cenil direbus dan mengapung, saya saring dan gulingkan di atas parutan kelapa yang sudah diberi gula. Hasil akhir berupa satai cenil dalam tusukan satai, saya perlihatkan pada anak-anak, kemudian mereka akan membuat susunan warna satainya sendiri sesuai polanya (putih, merah, hijau).
Memasak bersama anak-anak menjadi kenangan istimewa dalam ingatan saya. Selain berkenalan dengan cita rasa masakan, mereka juga secara tidak langsung belajar tentang ukuran, timbangan, tekstur, waktu memasak, proses, dan saat memasak satai cenil menyusun makanan sesuai pola warnanya. Mereka semakin bersemangat ketika makan hasil buatannya sendiri. Sementara untuk saya sendiri, yang paling berharga adalah ketika mereka bilang masakan Indonesia itu enak dan masakan Bunda paling enak sedunia!