Masak Dengan Bambu Di Dalam Oven
Petty Elliott sering rindu akan masa kecilnya di dapur Manado namun ia juga sangat terbuka terhadap pengaruh moderen ke resep-resep keluarganya.
Petty Elliott adalah seorang pemasak, penulis buku Papaya Flower, dan pelaku masakan Indonesia moderen. Ia baru saja kembali dari Frankfurt, Jerman, sebagai bagian dari Indonesian Culinary Mission ke Frankfurt. Ia berbagi resep keluarganya di depan para pengunjung asing dalam sesi Gourmet Gallery, Frankfurt Book Fair 2014.
Boleh ceritakan tentang isi buku Papaya Flower?
Idenya datang saat saya tinggal di Inggris. Saya ingin menulis tentang makanan saya saat masa kanak-kanak di Manado. Saya ingat betul, bagaimana indahnya perkebunan kelapa kakek dan nenek saya dan indahnya Bunaken saat itu. Semua kenangan ini, saya tuangkan dalam buku Papaya Flower.
Seperti apa masakan di rumah saat itu?
Nenek dari sisi ayah saya adalah seorang keturunan Belanda. Kakek dari sisi ibu saya berasal dari Sangir-Talaud, suatu pulau di bagian utara Sulawesi yang dekat dengan Filipina. Dan, Nenek dari sisi ibu adalah seorang Manado keturunan Cina. Jadi bisa dibayangkan seberapa beragamnya makanan yang ada di rumah saya saat itu. Nenek saya masih menggunakan alat masak sederhana seperti kayu bakar. Saya bersyukur bisa melihat sendiri semua itu sebelum teknik masak tradisional mulai menghilang.
Walaupun sangat lekat pada masakan rumah, Anda terbuka terhadap sesuatu yang moderen. Bagaimana hal ini bisa dilakukan tanpa kehilangan karakter resep keluarga Anda?
Mudah sekali. Kompromi dan penyesuaian di dapur itu perlu, jangan sampai kita frustrasi karena bahan yang diperlukan tidak ada di dapur. Jadi, pesan saya adalah kita perlu fleksibel di dapur tetapi juga penting untuk mengerti karakter resep aslinya. Bagi saya, memasak itu menyenangkan. Biasanya masakan Manado menggunakan bambu, woka atau daun pisang dalam masakannya. Rasanya ingin masak seperti ini setiap hari tetapi ini tidak praktis, maka terpikir oleh saya untuk mencoba memasak dengan bambu di dalam oven.
Sebagai salah satu pelaku masakan Indonesia moderen. Apa arti masakan Indonesia moderen bagi Anda?
Bagi saya untuk menghargai kualitas bahan setempat, kita perlu mengolahnya dengan teknik masak yang memang cocok untuk bahan tersebut. Saking menghargainya, kadang-kadang saya gabungkan teknik masak tradisional dengan alat masak moderen seperti memasak dengan bambu di dalam oven tadi. Mengenai rasa, orang tahu kalau Manado itu sangat pedas. Misalnya Rica-Rica: berat bahan bumbu dari cabai, jahe, dan bawang merahnya saja sudah setengah dari berat ayam yang digunakan. Namun saya berusaha untuk menurunkan kadar rasa pedas karena bagi saya penting untuk bisa merasakan rasa lain selain pedas. Masakan saya cenderung saya adaptasi ke selera moderen.
Bisa ceritakan tentang apa yang dimasak pada sesi “From Bamboo Cooking to Modern Today’s Kitchen” di Gourmet Gallery, Frankfurt Book Fair 2014 bulan yang lalu, dan apa tanggapan pengunjung saat itu?
Di sesi Gourmet Gallery, saya memasak tinorangsak dengan menggunakan daging babi yang saya beli di pasar setempat. Tinorangsak sendiri sebetulnya adalah bumbu halus yang saya olah dari bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit, cabai, irisan serai, dan daun jeruk. Pertama, saya masak cepat daging babi dengan garam, merica, dan air jeruk nipis di atas api panas. Kemudian saya masak sebentar hingga menjadi kecokelatan, selama 1 menit di setiap sisinya. Setelah itu, saya lumuri bumbu tinorangsak, dan masak kembali di dalam oven selama sekitar 40 menit.
Saya juga memasak bakwan jagung dengan dabu-dabu, serta ikan kod woku belanga (menggunakan ikan setempat) yang di disajikan dengan capellini (pasta mirip spageti namun tipis), dan kolak pisang ekspres dengan kayumanis.
Menurut saya, pengunjung menjadi sangat penasaran tentang masakan kita terutama masakan Manado. Saat itu saya hanya membawa 10 buku saya, dan semuanya habis terjual dalam waktu tiga menit.