Masakan Indonesia Di Mata Si Pencerita

Melihat kedatangan Gotot Prakosa, seorang seniman yang juga pembuat film Kantata Takwa ini, senyum saya langsung mengembang. Dengan langkah diseret, Mas Gotot, menghampiri saya dan menyapa manis. Terkena stroke sampai empat kali ternyata tidak menyurutkan semangat praktisi senior film Indonesia ini untuk terus berkarya. Pembicaraan saya dengan Mas Gotot selepas buka puasa pada hari itu sangat menarik. Saya seolah terlupa akan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan dan hanya menyambung kata-katanya saja. Berbicara dengan Dekan FFTV-IKJ periode 2008-2012 yang juga gemar makan ini membuat saya tidak hanya jadi lebih mengenal sosoknya, melainkan juga kisah-kisah di balik masakan Indonesia.
Biasanya apa makanan favorit yang disajikan di rumah di bulan Ramadhan?
Kalau di keluarga saya, pasti makanan Minang. Sejak kecil, di rumah harus ada ayam. Entah digoreng, disemur, diopor, pokoknya bahannya ayam. Sementara saya sendiri sebenarnya tidak masalah makan apa saja. Bisa nasi, bisa pasta.
Kalau masakan Indonesia yang sering dibuat di rumah?
Nasi goreng, karena bikinnya paling gampang dan juga paling netral.
Saya sering buat sendiri, tapi istri selalu marah, saya pasti pakai banyak alat. Penggorengan bisa dua atau lima. Saya tidak mau pakai satu penggorengan saja. Umpamanya untuk masak telur, lalu dimasukkan nasinya. Itu pasti enggak enak. Telur dibuat sendiri, setelah jadi diorak-arik atau dipotong, lalu dicampur dengan gorengan yang lain.
Saya punya rumus sendiri untuk masak nasi. Ada hal-hal yang saya perlukan untuk membuatnya. Jadi, biar kelihatannya enak dan rasanya memang enak.
Lima tahun pertama menikah, yang masak itu saya, karena istri tidak bisa. Lalu, istri dimarahi oleh orangtua saya. Setelahnya dia yang masak. Saya bilang padanya, kalau masak itu dimulai dari resep. Tapi, ternyata masak itu buat dia adalah menyontek, jadi njiplaknya harus benar, resepnya harus saklek. Saya bilang padanya, kalau kue boleh begitu. Tapi untuk masakan, justru improvisasi harus baik, karena ini masalah logika. Di luar kepala.
Maksudnya, masaknya di luar kepala?
Begini, misalkan kita punya bumbu asam dan manis. Kita harus mengatur dengan logika. Jangan kebanyakan salah satunya, karena kalau salah satu rasanya dominan, jadi enggak enak. Tapi kalau kita kira-kira, yang asam sedikit, yang manis sedikit, begitu dicampur jadi enak. Dalam teori chef , ‘kan, begitu.
Nah, masak di luar kepala itu biasanya di luar tradisi. Seperti dilakukan mertua saya. Dia buat resep sendiri. Karena kalau di daerah, bumbu itu diukur dengan yang ada di badannya, biar gampang diingat. Misalnya, satu ruas jempol jahe, satu ruas lengkuas.
Pengalaman paling dikenang soal makanan Indonesia?
Saya selalu menyempatkan diri mencari bebek betutu. Saya suka sekali makanan itu. Setiap dua bulan, saya pulang ke Bali untuk makan bebek betutu. Betutu adanya di Ubud. Menariknya, karena makannya di dapur, jadi saya tahu cara masaknya. Bebek yang sudah dipotong, disimpan dengan abu selama dua hari, pada hari ketiga baru dimasak. Enaknya dimakan dengan sambal matah. Sambel matah itu sambal mentah.
Bagaimana Anda menggambarkan masakan Indonesia? Ada niat untuk membuat karya tentang masakan Indonesia?
Masakan Indonesia itu campuran berbagai rasa. Kalau saya ikuti perjalanan orang-orang, tradisi masak itu diawali dengan memasak menggunakan alat-alat yang ada di alam.
Menurut saya, masakan Indonesia harus dilestarikan dan didokumentasikan. Karena masakan Indonesia itu unik dan ngangenin.