Memasak Di Negeri Kincir Angin
Perjalanan ke Belanda memberi saya pengalaman unik, yaitu menghidangkan masakan Indonesia ke tuan rumah. Ternyata hasilnya mendulang pujian.
Musim dingin tahun 2012, saya mengunjungi seorang teman di Utrecht, Belanda. Seorang gadis Belanda yang saya kenal ketika ia melakukan penelitian untuk tesisnya di Bogor, kota domisili saya. Di Utrecht, saya tinggal di apartemen teman saya itu bersama teman-temannya.
Suatu saat, teman saya bilang dia rindu makanan Indonesia dan minta saya untuk membuat masakan Indonesia. Katanya, ia juga ingin mengenalkan masakan Indonesia pada temannya. Saya setuju saja, karena selain suka masak, di Belanda juga mudah untuk mendapatkan bahan-bahannya.
Sorenya, kami ke toko Asia yang banyak menjual makanan dari Asia, seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Cina.
Di Belanda, toko seperti ini disebut “toko” seperti dalam bahasa Indonesia, karea di sini memang banyak tinggal orang Indonesia.
Dibanding di negara Eropa lainnya, bahan masakan Indonesia di sini lebih murah, meski tetap lebih mahal daripada di Indonesia.
Kami beli beberapa bahan, seperti tempe, kacang panjang, ayam, beras, kecap, cabai, bumbu satai, bubuk kaldu instan buatan Indonesia, dan bir bintang (ya, teman saya juga kangen bir ini!).
Rencananya, saya mau buat ayam bumbu satai dan tempe kecap. Setelah berbelanja bahan, kami kembali ke apartemen. Dibantu teman-teman saya mulai memasak. Kami mulai dengan memasak ayam bumbu satai. Pertama kali saya memasak hidangan ini adalah ketika di Eropa dan banyak yang suka. Bumbu wajib yang selalu saya pakai kala memasak adalah bawang putih, bawang bombay, merica, dan cabai.
Pertama, ayam tanpa tulang saya potong kecil-kecil, lalu dimasak dengan sedikit minyak, bawang putih, bawang bombay, dan bubuk kaldu bautan Indonesia. Setelah matang, saya masukkan bumbu satai yang telah dicairkan ke dalam ayam. Masak terus hingga bumbu meresap dalam ayam, lalu tambahkan kecap, cabai, dan merica, supaya rasanya makin mantap.
Saya juga memasak tempe kecap dengan bahan yang hampir sama, yakni bawang putih, cabai, dan kecap. Sementara kacang panjang hanya direbus dan diberi bubuk kaldu instan.
Di Eropa jarang yang punya penanak nasi listrik (rice cooker), kami pun masak nasi secara tradisional.
Beras dimasukkan ke dalam panci berisi air, tambahkan sedikit mentega atau minyak supaya tidak lengket. Karena teman-teman tidak suka nasi yang hambar, saya tambahkan garam biar ada rasa. Nasi yang basah kami keringkan dengan saringan hingga airnya turun.
Begitu siap, kami pun siap menikmatinya. Salah satu teman yang tidak pernah ke Indonesia berkata sangat senang bisa makan masakan Indonesia buatan saya. Menurutnya, kalau makan di restoran bisa sangat mahal. Sementara masakan yang kami siapkan untuk bertiga ini hanya menghabiskan sekitar 15 Euro saja, ditambah bahan-bahan yang sudah ada di dapur. Memang, di Eropa lebih baik masak sendiri, terutama jika kita akan berbagi makanan dengan teman-teman. Selain hemat, juga pasti lebih mengasyikkan!