Membawa Kering Tempe Ke Alaska

Pelabuhan di Seattle, Amerika Serikat, pada suatu Sabtu, Agustus lalu, terlihat sangat sibuk. Beberapa kapal pesiar cantik berlabuh, menunggu para tamu yang terlihat antusias memulai liburan ke beberapa tujuan di Amerika dan Kanada. Saya mencari ms Westerdam, sebuah kapal besar berkapasitas lebih dari 1.800 penumpang, termasuk sekitar 800 awak kapalnya.
Sebagai orang Indonesia yang puas tinggal di iklim tropis, berlibur ke daerah dingin dan menyaksikan melelehnya bongkahan es di Glacier Bay, Alaska adalah pengalaman yang mendebarkan. Perasaan saya tak karuan sebelum berangkat.
“Good morning!” sapa para awak kapal menyambut kami. Wajah-wajah Asia mereka terlihat sangat familiar. Entah kenapa, saya terdorong untuk membalas, “Selamat pagi!”. Yang saya sapa tersentak, lalu tersenyum lebar sambil geleng-geleng kepala. “Kaget saya, Bu. Orang Indonesia juga rupanya?” katanya. Saya hanya tertawa dan segera berjalan mencari kamar karena tidak berniat mengganggu mereka yang tengah bertugas.
Dari penelitian kecil-kecilan sebelum berangkat ke Seattle, saya mendapati kalau kurang-lebih separuh awak kapal ms Westerdam berasal dari Indonesia. Anggapan saya, sikap ramah-tamah, sigap, tekun, dan sabar para pekerja Indonesia inilah yang bikin mereka menang bersaing dari pekerja negara lain.
Saya berkenalan dengan Septi, awak kapal yang bertugas di restoran. Melihat namanya yang sangat Indonesia, saya langsung menyapanya dengan bahasa Indonesia. Septi pun dengan akrab bicara soal tugas dan pengalamannya selama bekerja di MS Westerdam. Bekerja kontrak selama 85 hari di kapal pesiar tentu banyak suka-dukanya, tutur Septi. Pengalaman menyaksikan lelehan es dan ikan paus berenang bebas di laut lepas sungguh seru. Sementara itu, menghadapi tamu kapal yang berasal dari berbagai negara, dengan berbagai keinginan, tentu bukanlah perkara mudah.
“Kalau kangen makanan Indonesia, perginya ke mana?” tanya saya ingin tahu. Saya yakin benar, kebanyakan orang Indonesia punya masalah “foodsick” kalau sedang di luar negeri. “Kami bisa ke restoran cina,” jawab Septi. Sebab, agak tidak mungkin untuk memasak diri sendiri, lanjutnya.
Setiap beberapa hari, kapal akan berlabuh dan para awak yang tidak sedang bertugas diberi kesempatan berjalan-jalan dan menikmati kota terdekat selama beberapa jam.
Sesekali waktu, seperti pada Agustus lalu ketika di Seattle, para awak bisa membeli lunch box berisi makanan khas Indonesia, seperti ketupat dan nasi uduk. Makanan ini dibuat oleh sekelompok orang Indonesia di Seattle, yang tergabung dalam Diaspora Indonesia. “Bisa ketemu sambal di Amerika?” tanya saya lagi sebelum berpisah dengan Septi. “Bisa, tapi rasanya pasti beda dengan buatan sendiri,” katanya. Seperti kebanyakan orang Indonesia, Septi dan kawan-kawan sering membawa makanan atau bumbu asli Indonesia ketika kembali bekerja di kapal pesiar.
Sambal, abon, kecap manis, dan kerupuk, adalah bahan yang paling sering dibawa. Bahkan, ada juga rekannya yang nekat membawa satu kotak sambal tomat ulek buatan ibunya!
Bagaimana dengan Septi? Ia sendiri pernah membawa kering tempe hingga dua setengah kilo, untuk bekal selama bekerja di kapal pesiar. Tak peduli apa kata orang, yang penting perut bahagia. Dan, jika perut sudah bahagia, hati pun akan turut bahagia.