Mengenalkan Rasa Makassar Lewat Coto
Siang itu, kami janjian di Raja Konro Daeng Naba, Kebayoran Baru. Wina, panggilan wanita 37 tahun ini, datang bersama dua dari tiga anaknya, Muhamad Azra atau Azra (8) dan Nadira Aisha atau Dena (11).
Sambil berbincang, Wina, Azra, dan Dena pesan sop konro, nasi, air jeruk nipis manis, jus markisa, dan jus jeruk. Saya sendiri pesan coto makassar dan buras.
“Saya sudah terbiasa banget dengan taste orang Makassar. Sama ikannya, sama konro, sama cottttooo,“ cerita pendiri QM Financial, perusahaan jasa perencana keuangan, ini.
“And we say it with an accent, “ lanjutnya diikuti derai tawa lepas.
Tak heran ia bisa menyebutnya dengan logat setempat karena Wina memang pernah menetap di perumahan Salonsa, Soroako, Sulawesi Selatan sejak usia 2 hingga 13.
Apa arti coto bagi Wina?
“Ayo, makan soto pagi-pagi, “ begitu cara Wina membangunkan ayahnya hampir setiap akhir pekan saat di Salonsa. Setelahnya, mereka akan pergi ke warung coto di belakang satu-satunya restoran di Soroako Lama.
“Sebenarnya mereka jual untuk makan siang dan malam. Tapi, di kepala saya coto selalu untuk sarapan. Buat teman-teman yang orang sana pun begitu. Karena coto di malam hari kuahnya sudah adukan dari pagi,” ujar pengisi acara Financial Clinic di Hard Rock FM Jakarta ini.
Bagi Wina kehidupan di Salonsa merupakan masa keluarga di mana ia dan adiknya hidup bersama orangtuanya. Karena setelah dari Sulawesi, orangtua Wina pindah ke Kalimantan, sementara ia tinggal bersama neneknya di Bandung sejak SMP. Coto menjadi bagian penting dari memori ini.
Memori paling tak terlupakan di seputar coto
“Waktu kecil, saya dibelikan ibu coto daging saja tanpa jeroan. Kuahnya khas, ada rasa kacangnya. Sangat panas dan gurih, “ Wina menjelaskan. “Porsinya sangat kecil, tapi bisa kenyang sepanjang hari!”
Di Makassar, selalu ada ketupat dan buras di meja untuk teman makan coto. Buras lebih umum dipilih.
“Saya ingat di masa kecil selalu buka ketupat saat makan coto di jongko (warung). Jadi, saya lebih pilih ketupat daripada buras,” tuturnya lagi.
Apa bedanya konro di Makassar dan di Jakarta?
Menurut Wina, anak Jakarta tahunya konro dengan bermacam rasa, seperti lada hitam yang ada di menu siang itu. Sedangkan di Makassar hanya ada konro dengan tulang besar-besar terendam dalam kuah. “Piringnya besar. Apa karena saya masih kecil, ya? Rasanyagedeeee banget, “ cerita Wina.
Apa anak-anak juga suka coto?
“Anak-anak sudah diperkenalkan dengan konro dan coto sejak TK. Tidak semua anak tahu makanan daerah atau yang namanya buras, ‘kan?” kata Wina.
Anak-anak Wina tidak terlalu suka coto karena isinya jeroan. Tapi mereka suka sekali ikan.“Especially ikan laut, “Dena menimpali percakapan kami.
“Anak-anak kalau dibawa ke daerah pantai, benar-benar seperti anak Sulawesi. Mereka langsung teriak, ‘Ikan!’, ” tambah Wina sambil tertawa.
Wina dan masakan Indonesia
Selama di Soroako, ibu Wina yang jago masak membuat sendiri bubur ayam, soto ayam, hingga soto ambengan. Wina sendiri mengaku tidak bisa masak makanan Indonesia.
“I didn’t get the chance to learn to cook from her, jadi terputus di ibu, ” kata Wina.
“The least I can do is to bring the food that I grew up with to my kids. Jadi, ke restoran-restoran kayak begini.”