Masak Di Rantau

Nasi Goreng Di Jerman

nasi-goreng-di-jerman

Tidak disangka-sangka, istilah nasi goreng dan bakmi goreng ternyata sudah sangat dikenal di Jerman.

Pada minggu pertama saya tinggal di Jerman, keluarga host mengajak saya makan di satu restoran Asia di kota tempat tinggal saya, Bensheim. Restoran itu bernama Wok. Saya senang luar biasa karena seminggu makan roti dan pasta cukup membuat perut saya jadi gelisah tidak karuan.

Restoran kecil ini terletak di marktplatz kota Bensheim. Meskipun kecil, restoran ini ditata dengan cantik dan rapi. Pertama sampai, saya langsung melirik menu dan harga makanan yang tersedia. Kaget bukan kepalang, saya menemukan nama “nasi goreng” dan “bakmi goreng” pada menu.

Keluarga host saya kemudian memberi tahu kalau “nasi goreng” dan “bakmi goreng” adalah istilah yang cukup umum dikenal oleh para penyuka makanan Asia di Jerman.

Tapi, mereka tidak mengetahui bahwa istilah tersebut berasal dari Bahasa Indonesia.

Dengan perut keroncongan luar biasa, saya langsung pesan nasi goreng pedas. Melihat harganya sebesar 8 Euro atau kalau dikonversi kurang lebih Rp.120.000, rasanya memang sakit hati. Tapi harga ini adalah harga standar makanan di Jerman. Saya pun tidak kecewa, karena rasa nasi goreng itu sangat enak. Selain itu, porsinya juga cukup banyak, satu porsi bisa dimakan 3-4 orang, ukuran saya yang banyak makan. Keluarga host saya memesan bakmi goreng yang kelihatannya juga enak dan banyak. Waktu saya cicipi, rasanya seperti bakmi goreng yang dijual abang gerobak keliling di kompleks perumahan di Indonesia.

Usai makan, saya tertarik ngobrol dengan pemilik restoran. Wang Ying Lin, yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok. Ia sudah menjalani bisnis ini selama 6 tahun bersama suaminya yang juga berasal dari negara yang sama. Ketika saya bertanya soal nasi goreng dan bakmi goreng yang tertera di menu, wanita berusia sekitar 40 tahun ini mengaku, sebenarnya tidak mengerti betul arti nama-nama masakan di dalam menu itu. Seperti menu Gai Pad Kimau dan Gang Ped Moo yang berasal dari Thailand atau Nasi Goreng dan Bakmi Goreng dari Indonesia. Lin menjualnya karena makanan itu sudah dikenal baik dan disukai pelanggan di Jerman. Keterangan mengenai makanan itu ditambahkan dalam bahasa Jerman pada daftar menu, pelanggan pun bisa membayangkan makanan yang mau dipesan.

Karena ketersediaan bahan masakan Asia di Jerman terbatas, Lin membelinya dari Belanda, yang memang punya akses cukup baik dalam bumbu dan bahan masakan Asia. Untuk menjaga cita rasa makanan dan bumbunya bisa meresap dengan baik, Lin mengaku, ia tidak memasak satu menu sekaligus dalam jumlah banyak seperti kebanyakan restoran Asia lain di Jerman. Salah satu menu andalan di Wok adalah mittag buffet alias menu prasmanan mulai Pk. 12.00-14.00, setiap Senin sampai Jumat. Dengan membayar 6,5 Euro, pelanggan bisa makan sepuasnya dari menu yang tersedia di meja. Menu ini membuat Wok selalu sesak pelanggan, bahkan sampai tidak ada bangku kosong.

Obrolan saya dan Lin berlanjut sampai pada perut Asia yang tidak pernah bisa terpuaskan dengan makanan Jerman.

Meski sudah makan banyak dan kenyang, selalu ada yang kurang kalau belum makan nasi atau mi.

Menemukan restoran ini jadi salah satu kebahagiaan buat saya. Meski harga makanannya terbilang mahal buat aupair, setidaknya nafsu makan makanan Asia saya bisa terpenuhi dengan datang ke sini sesekali.