Makan Bersama

Nasi Jagung Cinta Pertamaku

nasi-jagung-cinta-pertamaku

Berbincang seputar kuliner Indonesia bersama Santhi Serad seperti tidak ada habisnya. Lulusan program master of science di bidang Food Technology, Curtin University of Technology, Australia ini meluncurkan buku berjudul Teh dan Herbal: Sebuah Warisan Budaya, yang dipersembahkannya untuk perayaan 43 tahun pernikahan kedua orangtuanya, Suwarno M. Serad dan Hertuti. Dalam buku tersebut, ditorehkan perjalanan aneka herbal dari bunga dan daun, hingga menjadi secangkir teh hangat. “Buku ini lahir dari tradisi keluarga. Saya tumbuh dengan kebiasaan minum teh setiap pagi, sambil sarapan bersama di meja makan, juga pada sore hari,” kenangnya.

Kecintaan Anda terhadap kuliner Indonesia banyak dipengaruhi orangtua, ya?

Orangtua saya asli Jawa Timur. Sejak kecil, jika sedang pulang kampung ke Banyuwangi, Ayah mengajak saya mencoba berbagai kuliner khas sana dan mengunjungi pasar tradisional. Sementara Ibu, yang asal Pasuruan dan besar di Malang, sering mengajak saya mencicipi masakan di depot-depot Malang. Pengalaman masa kecil ini memperkaya khazanah kuliner Nusantara saya.

Kecintaannya terhadap herbal diwujudkan melalui kebun BumiHerbal yang terletak di Bukit Pakar Utara, Bandung. Di sana, terdapat lebih dari 400 jenis herbal tanaman obat dengan berbagai manfaat. Selain untuk jadi obat alami, tanaman ini juga dikembangkan untuk menjadi pangan fungsional.

Pernah membuat masakan dengan herbal?

Sejak beberapa tahun lalu, saya mengembangkan Herbal Kuliner, yaitu herbal sebagai bahan utama dalam masakan. Butuh trial and error, sebab banyak jenis herbal yang tidak cocok untuk dimasak, melainkan harus dikeringkan atau dibuat ekstrak dan dimasukkan dalam kapsul. Setiap Sabtu dan Minggu, saya uji coba memasak makanan dari tanaman herbal. Saat ini saya sedang mengembangkan berbagai olahan dari daun pegagan.

Di rumah, Santhi hampir selalu masak untuk sarapan. Ia sering memasak hidangan tradisional Indonesia, salah satu masakan andalannya tumis bunga pepaya. “Masuk dapur hal menyenangkan bagi saya, a refreshing activity. Aroma bumbu sangat menghidupkan syaraf penciuman saya. ”

Makanan apa yang membuat Anda jatuh cinta pada kuliner Indonesia?

Nasi jagung, disantap dengan ikan asin dan sambal, minumannya teh tubruk. Pertama kali saya makan itu ketika berada di rumah penduduk di desa Sumowono, Bandungan, Jawa Tengah. Hingga sekarang saya masih ingat lezatnya hidangan sederhana itu. Makannya tidak di meja makan, melainkan sambil duduk bersila di amben (tempat duduk dari anyaman bambu).

Penikmat kuliner yang bersama William Wongso dan Bondan Winarno mendirikan Gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia ini juga sangat suka makan nasi panas bersama tempe goreng dan kecap dibubuhi rawit dan tomat.

Cerita kuliner Indonesia yang belum pernah diutarakan ke media lain selain Rasamasa?

Kisah sesate di Bali, sesate atau satai adalah salah satu sesaji dalam upacara Hindu di Bali. Suatu ketika, pada hari Penampahan Galungan, saya berkunjung ke satu keluarga di banjar Batuyang, Batubulan, Gianyar. Saat itu sedang ada mebat, yaitu acara memasak bersama, yang dilakukan oleh kaum pria. Mereka membuat sekitar 9 macam satai Galungan dengan beraneka bentuk. Satai asem, satai suduk ro, satai jepit babi, satai jepit balung, satai kuung,satai srapah, satai sepit gunting, satai letlet, dan satai lembat. Daging yang dipakai biasanya daging babi, hati, dan bebek.

Satai-satai itu melambangkan alat perang Sang Hyang Nawa Dewata, sembilan dewa yang berada pada sembilan penjuru mata angin. Satai itu kemudian diletakkan sesuai sembilan arah mata angin. Semua begitu sarat simbol. Selain sebagai persembahan, juga disajikan untuk para tamu yang hadir.

Selain Sesate, tentang ternak Indonesia yang layak diketahui?

Ternak seperti kerbau, sapi, kambing, dan domba menjadi bagian dari ritual agama dan budaya. Ternak seperti kerbau dipandang memiliki posisi yang tinggi dibanding ternak lainnya. Kerbau di Toraja simbol status sosial. Ternak dikaitkan juga dengan karakter, contohnya ayam, sifatnya dinamis, kerbau pekerja keras. Masyarakat Bali misalnya, selalu mempersembahkan makanan yang belum disantap kepada dewata. Makanan yang sudah dimasak, diambil sedikit setiap macamnya dan disajikan untuk dewa dewa sebagai ucapan rasa syukur , setelah itu, disantap oleh seluruh keluarga. Persembahan ini disebut dengan Ngejot (berbagi). Jika yang dimasak saat itu adalah tum ayam, maka isi persembahanya adalah sejumput ayam, bumbu-bumbu seperti garam, lalu termasuk nasi yang diletakkan di potongan kecil daun pisang , dan ditata di tampah sesaji yang disebut Saiban. Saiban ini yang dihaturkan di dapur, gerbang rumah, dan halaman pura.

Lawar khas Bali juga melambangkan kekuatan para dewa yang menguasai penjuru mata angin yang disimbolkan dengan warna. Ada Lawar Putih, Lawar Merah, Lawar Kuning, dan Lawar Hitam. Melambangkan mata angin Timur, Selatan, Barat, Utara, dan penjaga di tengah empat mata angin.

Jadi ada simbol berbagi, penghormatan, dan pengorbanan di dalam kegiatan atau ritual agama dimana makanan merupakan bagian penting didalamnya.