Dari Redaksi

Pokoknya Pulang

pokoknya-pulang

Sejak lulus SMA saya sudah meninggalkan rumah untuk kuliah di Yogja. Ibu yang terisak melepas kepergian si bungsu ini, saya nilai terlalu berlebihan. (lalu dilanjutkan dengan tulisan yang sekarang sudah ada di awal).

Setibanya di Yogjakarta, saya sibuk mengikuti sederet aktivitas bimbingan belajar hingga masuk kuliah. Atmosfer yang sangat menyenangkan membuat saya lupa waktu. Lupa kalau sudah hampir dua bulan saya tidak berkomunikasi dengan Ibu! Saya ingat, ketika itu saya lantas menghubungi Ibu, minta agar ia menghubungi saya kembali. Dan, Ibu pun mendominasi percakapan. Saya banyak diam dan tetap merasa nasihatnya terlalu berlebihan.

Dua tahun berlalu. Kuliah mulai melelahkan. Dengan IPK yang enggak malu-maluin, saya mantap melamar praktik kerja di biro konsultan arstitektur di Bali. Voila! Saya diterima dan langsung cuti semester. Bali dan semua warna yang bisa dikecap memberi saya pengalaman tak ternilai. Dan, lagi-lagi, saya tersontak ketika ibu mengeluh karena saya absen menghubunginya. Saya pun tersadar bahwa saya punya kewajiban berkirim kabar.

Waktu bergulir terus, saya pun menyelesaikan kuliah. Lalu, saat di masa jeda menjelang wisuda, ada bencana besar tsunami di Aceh. Dengan ringan, saya melangkah ikut organisasi kemanusiaan untuk jadi tim teknis. Tiga bulan pertama yang saya lewati bersama ribuan pekerja kemanusiaan dari seluruh dunia sungguh luar biasa. Ide, terobosan, pemecahan masalah, dan pertukaran kreativitas benar-benar membuai saya tenggelam jauh dalam dunia saya sendiri. Pada detik bersamaan, saya seperti terperenyak ketika ponsel saya berdering, di layar tertera tulisan “Mami calling.”

Tak pelak lagi, Ibu ngambek. Sebab saya tidak bilang selama itu berada di Aceh. Juga tidak bilang kalau saya menunda wisuda.

“Pokoknya pulang!” perintahnya. Esoknya, saya berkemas dan urus izin untuk pulang.

Rangkaian drama seputar kemarahan Ibu yang sempat melintas di benak saya buyar ketika ia serta-merta memboyong saya pulang kampung, ke rumah Opung. Singkat cerita, perjalanan Ibu dan anak menjadi begitu menggembirakan, ketika ia bilang bahwa saya mewarisi sifatnya. Dulu, ceritanya, Ibu juga suka menghilang ketika sedang kumpul keluarga. Bukan hanya kumpul keluarga dengan ayah, ibu, kakak, dan adiknya, melainkan juga kumpul keluarga dengan paman, tante, sepupu, bahkan keponakannya, yang biasa dilakukan sembari masak dodol dari pagi hingga matahari terbenam. Setiap orang punya tugas masing-masing, dari belanja di pasar, persiapan masak, persiapan api di tungku kayu, hingga siapa yang jadi pengadon. Opung, yang paham betul hobi usil Ibu, selalu punya trik agar Ibu punya andil dalam kebersamaan keluarga itu. Walau tidak mengaduk, setidaknya Ibu bertugas menjaga pengaduk panjang adonan dodol. Bagi Ibu, memori masak dodol bersama keluarga semasa kecil meninggalkan jejak teramat manis.

Bagaimana rasa peduli, sayang, kedekatan, dan saling melindungi makin terasa ketika gelak tawa berderai sembari menikmati dodol hasil kerja bersama.

Dari situ, saya mantap melangkah kembali ke Aceh untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Lalu, kembali ke Yogyakarta untuk menuntaskan wisuda yang tertunda. Dalam perjalanan, saya membekali diri sekotak dodol dan kisah kenangan Ibu yang menyentuh. Perjalanan singkat pulang kampung itu mengajak saya berkontemplasi tentang kebiasaan saya menghilang, menyadari makna yang cukup mendalam, bahwa keluarga selalu ada di mana kenangan manis itu berada.