Pratyahara Rasa

Urap, tempe, dan nasi merah adalah bekal yang pas di antara kegiatan yoga dan gym bagi Syenny Widjaja, salah satu pemilik Bakoel Koffie, yang sangat zen dan rasional dengan pola makannya.
Sudah hampir sepuluh tahun terakhir Syenny biasa membawa bekal dari rumah. Alasannya? Jakarta macet. Selain itu, ia tak ingin beli makan di luar karena hanya rasa masakan rumah yang pas dengan cita rasanya yang cenderung ‘bersih’ tanpa bumbu medok.
Urap ini pakai resepnya siapa?
Urap ini yang masak pembantu. Dulu dia belajar dari nenek saya, bersamaan dengan beberapa masakan jawa lainnya. Nenek saya asal Parakan, Wonosobo. Masakannya sangat jawa seperti sambal goreng, pindang, pecel, dan bobor. Nenek saya jago masak, saya ngomong begini bukan karena saya cucunya, ya. Resep nenek diturunkan ke pembantu saya, karena ibu dan saya nggak bisa masak.
Apa yang beda dengan urap nenek zaman dulu?
Rasanya kurang lebih sama tetapi urap nenek saya medok sedangkan yang ini saya minta pembantu untuk mengurangi garam dan bumbunya. Tingkat keasinan itu ‘kan subyektif, apa yang bagi saya terlalu asin, ibu saya bilang nggak. Selalu begitu sampai akhirnya ibu saya memvonis kalau lidah saya sudah rusak hahaha. Bagi ibu saya, rasa saya beliau sebut, “apaan ini?” Makanya ia tak pernah mau makan di rumah saya karena rasanya terlalu hambar dan tak ada yang cocok bagi beliau.
Katanya, sering bawa makanan dari rumah?
Di Jakarta ‘kan macet dan saya nggak mau beli makan di luar. Jadi kalau tahu akan ketemu jam makan siang, biasanya saya bawa buah. Kalau sampai malam, saya bawa nasi, mirip-mirip piknik deh.
Sekarang sudah nggak bisa makan sembarangan karena lama-lama setelah banyak yoga, badan saya nggak terlalu ingin masakan yang terlalu enak tapi nggak sehat untuk badan. Badan saya maunya yang fresh buatan rumah, karena terasa lebih enak ke badan.
Lagi pula masakan rumah rasanya nggak terlalu medok dan asin, dan itu rasa yang terbiasa di lidah saya. Kalau terlalu terasa, saya sengsara.
Kenapa nggak suka rasa yang medok?
Awalnya ini mulai dari proses ingin punya badan yang baik dan fit. Jadi saya exercise. Tapi setelah exercise, kok badan masih terasa bergelambir. Ternyata karena cara makan saya dulu banyak garamnya sedangkan garam mengikat air di badan, jadi hasilnya tetap bergelambir.
Rasa garam dan bumbu yang dikurangi ini sesuai pratyahara, salah satu cabang yoga mengenai withdrawal of the senses. Pratyahara inilah yang membantu untuk memilih makanan misalnya menahan kita dari rasa terlalu nafsu melihat hidangan buffet. Karena sudah bayar, kita jadi cenderung akan makan lebih dari yang seharusnya. Dengan pratyahara indera kita tidak meluap-luap karena pikiran dan badan sudah sinkron sehingga lebih mudah untuk hidup sehat. Kalau badan sudah bersih, pola makan kita pasti bersih, dan secara alami tak ingin sesuatu yang tidak baik untuk badan.
Masakan apa yang paling mendukung kegiatan yoga?
Urap paling memuaskan karena isinya serat semua tetapi ringan dan tahan lama. Ditambah sedikit tempe sudah mengenyangkan. Tetapi bukan kenyang yang bikin mengantuk jadi cocok untuk hari dimana, pagi saya yoga dan sore ke gym. Bayam oke, tapi kurang kenyang karena berkuah jadi perlu protein yang lebih kuat misalnya bakwan jagung dan ikan goreng.
Syen, dulu Bakoel Koffie, sekarang yoga, jadi berikutnya apa?
Semua olah raga sudah saya jalanin tetapi di yoga banyak sekali pengetahuan tentang anatomi badan. Dengan bertambah umur, kita mesti memberikan ke badan apa-apa yang memang dibutuhkannya. Saya yakin ini ada di jamu, makanya saya ingin belajar tentang jamu.
Rima Sjoekri ( Penulis ) & Foto dari Syenny Widjaja untuk Rasamasa