Refleksi Kehidupan

Kisah dari perspektif yang berbeda ini menarik saya untuk merefleksi kehidupan saya sendiri. Kelak saya juga akan merasakan emosi yang dialami Ibu saya. Saatnya nanti, anak saya juga akan disibuki oleh urusannya sendiri, bukan?
Minggu kemarin Ibu curhat kepada saya lewat telepon, garis besar curhatan beliau, mengkhawatirkan dan merindukan anak laki-lakinya, abang saya, yang sedang melanjutkan sekolah di kota lain.
Pada kesempatan lain, cerita abang saya masih seputar bagaimana dia mulai beradaptasi pada suhu, lingkungan asrama yang asing, dan jadwal kelas yang padat, sampai-sampai dia sulit tidur. Dan, sebagaimana konsistensi alam berotasi, saya agak bergidik membayangkan saat-saat transisi Ibu dengan abang saya itu juga terjadi secara natural kepada saya dan anak saya kelak.
Mendadak saya ingat Ibu. Disamping profesi beliau sebagai Kepala Sekolah, kesehariannya dari Senin hingga ketemu Senin lagi dilakoni sebagai penatua gereja, pengurus organisasi wanita, bendahara arisan, pemegang suara alto dalam barisan koor, seorang istri sekaligus ibu yang mengurusi empat orang anak dengan tingkah polahnya masing-masing. Jadi, tidak mengherankan jika saya dibesarkan tanpa rayuan dan iming-iming, terlebih mimpi dibekali bundelan buku resep. Lalu, bagaimana dengan saya dan Sasha kelak?
Setiap pagi, saat suami berkesempatan menghantar saya ke stasiun menuju kantor, kami suka mendengar siaran radio yang mengulas cerita ringan seputar kehidupan. Kebetulan, topik pagi tadi mengenai makanan favorit yang dimasak oleh istri. Suami saya kepayahan menjawab ketika saya bertanya apakah masakan saya enak atau tidak menurut dia. Kami pun saling melempar pandang untuk akhirnya tertawa bersama penuh arti. Sebab, sayapun mengakui bahwa ketrampilan memasak saya memang masih jauh dari mumpuni. Namun, suami saya justru bilang, masakan saya enak semua. Ah, menurut saya sih, itu karena suami saya bukan orang yang picky makan. Jadi, maklum saja kalau penilaiannya enak semua.
Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan suami saya, apa masakan yang akan saya ajarkan pada Sasha, putri sulung kami, saat ia besar nanti? Saya pun tak bisa menjawabnya, bahkan saya tak punya rencana untuk itu. Saya pun berpikir, benar juga, kelak apa yang akan saya estafetkan pada Sasha soal kelihaian memasak saya?
Berada di antara aliran waktu yang terus bergulir dan beranjak dari transisi yang bergerak alami tersebut, saya memutuskan untuk mulai mencicil hal-hal yang saya anggap penting untuk diteruskan. Pertama, tentunya bagi orang terdekat saya, suami tercinta. Catatan-catatan kecil sebagai reminder sebagaimana tradisi yang berlangsung di rumah, saya tempel di pintu lemari es. Isinya seputar takaran detergen untuk setiap muatan cucian dalam mesin cuci, takaran gula yang berbeda untuk juice buah dan minuman, daftar stok dapur yang perlu ditambah, jadwal bayar bulanan yang tidak boleh telat dan resep masakan yang perlu dibeli untuk saya masak di akhir pekan.
Sementara, bagi Sasha yang terus bertumbuh ke arah dewasa, saya akan melatih disiplin menyempatkan diri untuk meneruskan ilmu baginya. Tahapan yang paling sederhana adalah impian saya untuk mengumpulkan resep makanan kesukaaan kami di rumah. Kelak resep itu akan menjadi panduan Sasha agar bisa melakukan hal serupa.
Kata orang, niat baik akan selalu ada jalan, bukan sebuah kebetulan jika Rasamasa memberi kesempatan melalui proses korespondensi untuk menjadi kontributor resep maupun tulisan di https://rasamasa.com/.
Harapannya dengan menjadi kontributor tersebut setiap kita yang berbeda latar belakang profesi dan keahlian bisa berbagi ilmu dan kisah, tidak hanya bagi orang-orang terdekat tapi juga bagi banyak orang.