Masak Di Rantau

Rumah Singgah Rasa Indonesia Di Tanah Rantau

rumah-singgah-rasa-indonesia-di-tanah-rantau

Seorang wanita berambut hitam legam bercelemek sibuk menyambangi setiap meja, menjamu tamu layaknya keluarga sendiri.

“Mau sambal lagi? Eh, jeruknya kurang enggak? Mau tambah nasi?”

Adalah Jenny Nora Hufschmid, akrab disapa Tante Jen oleh banyak orang Indonesia yang tinggal di Singapura. Tante Jen inilah yang jadi cikal-bakal Dapur Jen’s,kedai yang menyajikan hidangan khas Indonesia dengan rasa otentik. Dibuka bersama suaminya, Frank Hufschmid, dan anak bungsunya, Sisi, kedai ini menjadi tempat favorit orang Indonesia yang rindu rasa asli Indonesia.

Dapur Jen’s dibuka di Singapura pada September 2011. Waktu itu, Tante Jen sering sulit mencari masakan Indonesia yang cocok dengan lidah padangnya. Walaupun di sekitarnya ada 7 restoran lawas bertitel “Nasi Padang”, Tante Jen belum puas. Pasalnya, banyak sajian menu di restoran itu yang tidak memiliki cita rasa yang dia harapkan seasli rasanya.

“Tulisannya saja Nasi Padang, tapi ini, mah, Nasi Melayu! Kalau orang Indonesia yang ke sana pasti enggak mau!”

Dari Dapur Jen’s, muncullah deretan menu berupa Soto Ayam Medan, Soto Madura, Sop Buntut, Rawon, sampai Soto Betawi–dengan minyak samin yang diimpor dari Jakarta. Perbedaan ini membuat kedai kecilnya ramai disambangi orang Indonesia, baik turis, pelajar, maupun pekerja di Singapura.

Suasana kedai yang akrab dan rumahan juga jadi salah satu keunggulan Dapur Jen’s.

Banyak pelanggan tidak segan langsung ke dapur untuk menyapa Tante Jen dan meminta sambal, bahkan memintanya memasak menu khusus yang sedang dirindukan. Tidak heran kalau suasana seperti ini membuat Putri Indonesia 2011, Maria Selena, bersantap di Dapur Jen’s ketika di Singapura.

Selain menu ala-carte, Tante Jen menyajikan menu prasmanan setiap hari Jumat dan selama bulan Ramadhan. Mulai dari rendang, urap, gulai, hingga martabak, kolak, dan kudapan-kudapan khas bisa dinikmati sepuasnya dengan $14,90. Terkadang para tamu bahkan harus reservasi tempat sebelumnya.

Mahalnya tenaga kerja di Singapura dan tidak banyak orang yang mau belajar masakan Indonesia menjadi kendala utama Tante Jen dalam berbisnis. Hampir setiap hari, ia hadir di kedainya untuk memastikan semua sesuai standar. Tak jarang, suami dan anaknya ikut membantu melayani tamu.

“Kita mulai bisnis boleh cari untung, asal kualitasnya harus tetap dijaga. Kalau enggak, yang ada enggak jadi untung.”

Soal bahan baku, Tante Jen masih membawa langsung dari Jakarta. Tidak sulit membawa bumbu-bumbu dan cabai segar masuk ke Singapura. Namun beberapa bahan, seperti keluak dan rempah-rempah, masih didapatkan di Pasar Geylang atau Tekka Market. Kalaupun terdesak, Tante Jen biasanya membelinya di Batam.

Saat ini, kedai kecil itu sudah diambil-alih oleh temannya. Tante Jen sekeluarga akan bertolak ke Australia karena tuntutan pekerjaan. Beliau sendiri berencana membuka kedai masakan Indonesia di sana, mengingat banyaknya orang Indonesia yang tinggal di Benua Kangguru tersebut. Tak heran karena bisnis makanan bukanlah hal baru untuk Tante Jen. Tumbuh di daerah Sawah Besar, beliau jatuh cinta pada masak-memasak saat membantu kedua orangtuanya mengurus rumah makan Padang di daerah Juanda. Pada 1980-an Tante Jen membuka restoran pertamanya bernama Griya Russian di Jalan Juanda 3, selama kurang lebih 4 tahun. Selain itu, ia juga pernah membuka tempat makan di Garut dan Ubud, Bali.

Sore itu saya pulang dengan wajah sumringah. Bukan hanya karena cerita tentang kecintaan Tante Jen terhadap masakan Indonesia, melainkan juga karena sekotak rendang buatannya yang jadi favorit saya. Seharusnya, ada lebih banyak lagi Tante Jen di negara-negara lain. Tak perlu untuk sampai memopulerkan masakan Indonesia, namun untuk sekadar memuaskan rindu orang Indonesia di rantau terhadap rasa asli masakan Indonesia.