Dari Redaksi

Secukupnya di Hari Imlek

secukupnya-di-hari-imlek

Punya beberapa teman dekat yang merayakan Imlek membuat saya familiar dengan momen ini.

Pimpinan saya sebelumnya yang juga seorang Tionghoa masih kerap mengundang mantan karyawannya untuk ikut merayakan Imlek dengan makan bersama di kediamannya. Tentu saja, kami selalu dibekali angpao saat pamit pulang. Menyenangkan!

Jauh hari sebelum Imlek, saya bertanya pada salah seorang sahabat yang sedang berbahagia dengan kelahiran anak keduanya pada tahun kambing kayu ini. Apakah kali ini ia akan merayakan Imlek sekaligus mengadakan syukuran atas bertambahnya anggota baru dalam keluarganya? “O ya, pasti!” Jawabnya riang.

“Karena kelahiran ini jatuh di tahun damai, gue ogah bikin menu hingar-bingar. Secukupnya saja,” tambahnya lagi sambil mengecup pipi jagoannya yang tertidur pulas di pangkuannya.

Memangnya ada apa dengan menu yang selama ini tersedia di meja makannya setiap Imlek? Saya jadi penasaran.

Sahabat saya pun menjelaskan, makanan wajib keluarga Tionghoa saat Imlek itu sangat beragam. Ada kue lapis, kue keranjang, jamur mekar, bebek, tripang, pindang bandeng, onde-onde, manisan buah, sampai kolang-kaling. “Buat gue, ragam makanan seperti itu terlalu berlebihan kalau disajikan di keluarga kecil kami. Walau akan dibarengi syukuran kelahiran, gue mau bikin yang simpel saja, yang bikin gue tetap bahagia selama masak dan enggak bikin kemrungsung. Apalagi kalau makanannya terbuang sia-sia. Aduh, jangan, deh,..” tambahnya lagi.

What a typical! Sewaktu masih lajang dulu, saya juga tidak peka dengan makanan sisa di piring. Setelah jadi istri dan punya anak, saya sangat memantau makanan yang tersaji di meja makan rumah. Sebelum masak di pagi hari saat akhir minggu, saya usahakan menakar bahan makanan yang pas habis untuk sehari.

Beda perilaku jika ada rencana untuk makan malam di luar. Jenis makanan yang saya olah tidak jauh-jauh dari tumisan, maksudnya agar satu kali masak dua lauk bisa didapat, ringkas. Ditambah lagi kondisi ini terkolaborasi dengan selera makan anak yang porsinya bergantung pada mood-nya. Saya paham betul sebanyak apa porsi makanan Sasha saat sedang happy dan berselera, dan sebaliknya.

Pokoknya, soal porsi makan saya sangat hati-hati. Sederhana saja, saya hanya punya waktu masak di akhir pekan. Jadi, saya tidak mau ada bahan makanan basah teronggok di pojok kulkas hingga seminggu. Rasanya sangat tidak higienis dan sangat boros, sebab, semua itu akan berakhir di tempat sampah. Saya tidak yakin apakah cara ini dilakukan kebanyakan perempuan berkeluarga, namun mengusahakan makanan tidak terbuang begitu saja harmonisnya diupayakan oleh semua orang.

Kembali lagi ke cerita teman saya tadi. 

Setelah pertemuan kami tempo hari, suatu malam ia mengirimkan pesan bahwa saya dan keluarga harus berkunjung saat Imlek nanti, sebab ia akan memasak. Menunya: bebek panggang utuh yang mengandung arti kesetiaan, mi panjang yang tidak boleh terpotong, mengandung arti harapan yang terus-menerus, dan beberapa jenis sayur berhubung suaminya adalah pecinta sayur. Dengan senang hati saya menyanggupinya, apalagi teman baik saya ini memang lihai memasak dan suka memasak. Cocok dengan saya yang suka makan dengan porsi banyak.

A-ha! Tiba-tiba saya teringat, sepertinya bukan sebuah kebetulan jika cerita ini berhubungan dengan diskusi panjang saya dan suami mengenai revolusi mental yang digadang-gadang oleh presiden RI. Salah satunya pastilah termasuk revolusi pangan yang dimulai dari menghabiskan makanan di atas piring makanan kita. Happy Imlek ya,... gong xi fa cai..!