Sihir Maut Naniarsik

Makanan punya peran lebih daripada sekadar untuk mengenyangkan perut. Bahkan, hidangan favorit semasa kecil bisa terus lekat dalam ingatan, bagai sihir yang tak mudah untuk dilupakan...
Sebagai orang Batak yang tinggal berdekatan dengan tanah leluhur, saya cukup akrab dengan aktivitas adat yang dilangsungkan di kampung-kampung. Hampir seluruh kegiatan adat batak bersinggungan dengan makanan. Keluarga yang mengadakan acara selalu menyediakan panganan yang berlimpah ruah, dari makanan dan minuman pembuka, hingga yang disiapkan untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Jika ada tamu yang berbisik kalau makanan yang tersaji kurang, ini akan jadi cela yang memalukan bagi si empunya hajatan.
Acara adat di kampung biasanya dilakukan di lapangan terbuka, dengan undangan yang berasal dari segala jenis ikatan persaudaraan yang terjadi. Terlebih jika menyinggung hubungan kekerabatan yang tidak terputuskan, melainkan terus berkembang sesuai dengan konstruksi hidup orang Batak, yang disebut dalihan na tolu (tiga pilar). Yaitu hubungan saling menghormati dengan keluarga besar istri, hubungan saling menjaga antar kaum perempuan, dan hubungan saling toleran dengan teman semarga dan sekampung.
Pada setiap upacara adat Batak, makanan yang selalu menarik perhatian saya adalah naniarsik.
Hidangan ikan mas (baik yang berwarna hitam keabuan maupun kuning keemasan) yang dimasak dengan bumbu khas tanah Batak ini punya peran cukup penting.
Penyajiannya selalu bertepatan saat para orang tua menyampaikan nasihat pada pihak yang sedang didoakan keberhasilan dan kebaikannya di masa yang akan datang. Entah itu untuk acara pertunangan, pernikahan, tujuh bulanan, syukuran kelahiran anak, pembaptisan anak, pemberian nama anak, ulang tahun pernikahan, hingga syukuran memasuki rumah. Pada hampir seluruh momen memasuki babak baru kehidupan, naniarsik muncul sebagai perwakilan doa dan harapan, yang wujudnya dapat dinikmati seluruh anggota keluarga.
Kebiasaan Ibu mengolah naniarsik di rumah selalu terasa lebih spesial buat saya, mengingat perannya dalam upacara adat.
Selain perpaduan bumbu khasnya, seperti andaliman dan bunga kecombrang yang bikin rumah jadi harum dan seakan mengundang untuk berkumpul makan bersama, makanan favorit saya ini juga tergolong sangat sehat.
Saya ingat, dulu keluarga nenek memiliki peternakan ikan mas di salah satu area di perairan Danau Toba. Danau toba, satu dari wilayah maritim milik Indonesia yang sudah kesohor itu memang menguntungkan untuk peternakan ikan buat masyarakat sekitar, termasuk keluarga saya. Paman kerap mengajak saya memeriksa keadaan ikan-ikan di sana. Dengan lihai, paman berjalan meniti kayu panjang yang melintang di antara jaring-jemaring yang memisahkan ikan kecil, ikan dewasa, ikan petelur, dan ikan yang siap dijual ke pasar berdasarkan pesanan. Dari atas sampan, saya memerhatikan ikan mas yang meliuk-liuk dengan sangat kagum. Warnanya yang dominan keemasan itu sangat cantik ketika diterpa sinar matahari. Ketika paman menabur makanan, ratusan ikan mas berlomba memakannya, menyisakan percikan air yang bikin saya takjub.
Setelah menikah dan punya anak, saya selalu rindu menghadirkan kehangatan melalui wewangian yang berasal dari racikan bumbu masakan di dapur saya.
Salah satunya adalah aroma bumbu naniarsik yang sejak lama telah menyihir saya, sehingga saya sangat menggandrungi baunya yang sedap semerbak memenuhi setiap sudut rumah. Berhubung mendapatkan ikan mas di pasar sekitar rumah tidak semudah zaman saya kecil di kampung dulu, bumbu arsik tidak melulu saya dampingkan dengan ikan mas. Terkadang, dengan ikan kembung atau ikan teri yang saya campur dengan kacang panjang dan daun singkong. Resep naniarsik yang bisa menyembuhkan rasa kangen terhadap masakan Ibu relatif mudah untuk diolah, sehingga saya hafal rincian persiapan bumbunya di luar kelapa. Bagi saya, bahan mentahnya yang mudah ditemukan, penyajian yang cepat, ditambah rasanya yang enak, selalu berhasil membuat makan siang saya setidaknya nambah sepiring lagi.