Tempe Itu Jadul Tapi Eksis
Sabtu siang itu, sekitar pukul 12, Wahyu Aditya tiba di Kopi Oey Tebet sesuai janji. Setelah melihat menu sebentar, tanpa ragu ia memesan tempe mendoan, berikut dengan nasi brongkos, kunyit asam, dan air putih. Selain karena dekat dengan rumah dan tempatnya berkarya, memang tempe yang dicarinya di tempat makan ini.
Kenapa tempe?
“Apa-apa yang berbau tempe itu menghipnotis saya, “kata Wadit, demikian panggilan akrab pria 33 tahun yang besar di Malang hingga SMA ini. Di mana ada tempe, ia akan memakannya dulu tanpa sungkan, seperti saat menikmati tempe mendoan yang dipesannya hari itu.
“Ibu saya suka masak macam-macam, tapi pasti selalu ada tempe. Dia tahu saya suka, jadi dia selalu goreng tempe buat saya," cerita Wadit yang karyanya dikenal melalui sekolah animasi HelloMotion Academy dan Kementerian Desain Republik Indonesia (KDRI). Usaha berbasis online ini dibentuknya untuk menyebarkan “semangat Indonesia” ke seluruh dunia melalui kekuatan visual.
Tempe yang paling enak?
Pernah suatu saat Wadit pulang mendadak ke rumah orang tuanya di Malang. Setibanya di rumah, ibunya langsung menarik Wadit untuk naik mobil mengitari kompleks, hanya demi mencari tukang tempe keliling langganannya.
“Saya harus mengamini kalau tempe malang itu memang yang paling enak,” tegasnya.
Tempe: jadul tapi eksis?
Kecintaannya terhadap tempe juga diungkapkannya pada Rasamasa ketika ditanya soal bukunya yang terbit Januari 2013 lalu, Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati. Meminjam istilah bukunya di Butir 6: Bikin Lengket, tentang hal-hal yang membuat lengket kota London, tempe disebutnya pas sebagai analogi dari “jadul tapi eksis”.
Kenapa tidak setuju dengan istilah mental tempe?
“Masih banyak orang menganggap ‘mental tempe’ sebagai hal yang negatif. Padahal itu persepsi jadul yang keliru,“jelasnya. Persepsi ini terbentuk di kepalanya sejak duduk di SD, karena guru-guru kerap menyebut “mental tempe” dalam konteks yang berhubungan dengan lambatnya kemajuan bangsa kita.
“Sayang, analogi makanan yang digunakan salah. Mungkin karena pada era dulu risetnya enggak secanggih sekarang. Tempe dianggap kurang bergizi, padahal sekarang terbukti sebagai salah satu sumber protein yang penting,” kata Wadit.
Bagaimana cara mengembalikan citra tempe?
"Satu desain kaus iFood oleh seorang anggota KDRI yang bergambar tempe menjadi salah satu kaus kami yang laris,“ lanjut Wadit tentang bukti lain akan masih adanya dukungan terhadap tempe hingga kini.
“Jadi mindset soal ‘mental tempe’ seharusnya diubah menjadi sesuatu yang positif!” imbuh Wadit.