Terbatas Bukan Tak Mungkin

Hidup di Korea Selatan tidak seindah yang dibayangkan. Urusan perut bisa jadi masalah, tapi saya dan teman-teman seperantauan tidak menyerah begitu saja.
Genap sudah empat tahun saya berkelana di negeri dengan julukan the land of the morning calm ini. Banyak yang pikir, hidup di Korea Selatan sangat indah, melihat hallyu (istilah Korea untuk Korean Wave) secara langsung, bertemu artis cantik, dan aktor ganteng.
Well, awalnya memang menarik. Tapi kalau sudah menyangkut urusan perut,... hmmm... ini yang susah, terutama untuk muslim seperti saya. Sebab, sebagian makanan di sini tidak halal, termasuk ramyon-nya (yang di Indonesia juga perlu berhati-hati). Karenanya, memasak di rumah bisa jadi tantangan tersendiri.
Saat awal tinggal di negeri ini, saya memasak tidak tanggung-tanggung, bahkan bisa untuk 7-8 orang sekaligus. Itu karena kami, para wanita, membantu juga kawan-kawan pria untuk makan makanan yang sehat sekaligus halal. Tak jarang para wanita lajang atau ibu rumah tangga membuka jasa katering yang tidak profit-oriented di sini, karena pada dasarnya mereka ingin membantu menyediakan makanan yang halal dan sehat (sehat untuk tubuh maupun kantung).
Membagi waktu antara sekolah dan memasak dalam porsi jumbo tentu mendatangkan kesulitan tersendiri. Yang saya lakukan adalah membuat daftar, membeli semua bahan makanan, lalu menyimpannya di kulkas untuk stok memasak seminggu. Saat itu, ayam dan daging yang halal bisa didapat di toko Pakistan, yang stoknya datang sebulan sekali. Khusus untuk ayam dan daging, saya menyimpannya dalam jumlah banyak di freezer. Dalam seminggu setidaknya ada satu hari saya memberi menu daging, sisanya kebanyakan adalah sayuran atau daging sebagai pelengkap saja, bukan menu utama.
Seiring waktu, permintaan produk halal meningkat, sehingga beberapa toko ikut menyediakan produk halal. Salah satunya adalah toko grosir di pasar dekat sekolah saya, yang menyediakan ayam dan daging halal. Alhamdulillah, ini sangat memudahkan saya mendapatkan bahan makanan halal sekarang.
Pengalaman seru lain seputar memasak makanan Indonesia adalah ketika acara International Food Festival diadakan di kampus saya setiap musim panas. Saya dan sesama orang Indonesia di sini tidak pernah absen. Tiga tahun lalu, kami bahu-membahu bikin ayam bakar bumbu rujak dan es buah. Dalam waktu kurang dari setengah jam setelah bazar dibuka, makanan kami sudah ludes. Mungkin, aroma ayam bakar yang harum itu menggugah orang untuk menjajal masakan kami. Bukan hanya orang Korea yang meramaikan booth kami, melainkan juga para orang asing yang sedang lewat. Semua terpancing ingin mencicipi. Tahun berikutnya, kami buat lontong dan soto. Hasilnya sama, makanan laris manis sampai penjaganya tidak kebagian. Ketika jauh dari keluarga, momen-momen seperti ini membuat kita tetap hangat dan tidak merasa sendirian. Inilah yang membuat kami bertahan dari segala keterbatasan.