Top! Cendol Durian Jalan Semarang
Saking serunya kami ngobrol sampai lupa berkenalan. Kira-kira setengah jam berlalu, saya baru tersadar dan segera bertanya nama beliau. Dengan sigap dia mengambil dan memberikan kartu namanya.
Tertulis besar di kartu nama itu: “Es Cendol Jl. Semarang, TERIMA PESANAN. Darto 0813 98545105.”
Bapak empat orang anak yang semuanya sudah mandiri ini, lahir di Brebes dan lama tinggal di Semarang. Pak Darto, penjual es cendol duren ini memang sudah menjadi langganan Rasamasa karena kelezatan cendol ramuannya.
Saat saya bertandang siang itu dia menggunakan kemeja lengan pendek, celana panjang bahan yang disetrika rapi, bersepatu pula. Pak Darto tampak begitu cekatan melayani setiap pelanggannya yang datang. Tak nampak kalau usianya sudah 61 tahun. Sebelum berdagang disini, berdagang cendol sudah dilakoninya dengan keliling kota Semarang sejak tahun 1975.
Selepas subuh, aktivitas Pak Darto dimulai. Sekitar satu sampai dua kilogram tepung beras bisa dihabiskan untuk membuat cendol dalam sehari. Segera setelah cendol siap, Pak Darto pun bergegas ke Pasar Pal Meriam untuk berbelanja.
Beliau betul-betul serius menyiapkan setiap bahannya.
Untuk santan pun demikian. Pak Darto menggunakan air rebusan daun pandan, bukan sekedar air matang. Nantinya, air itulah yang diberikan kepada pedagang kelapa untuk membuat santan dengan mesin otomatis.
Pak Darto anti mengorbankan kualitas cendolnya seperti beberapa pedagang lakukan, cuek dan asal-asalan membuat santan dari air mentah.
Pilih kelapa juga tak bisa sembarang ambil. Tipsnya, beli yang tua dan baru datang, jangan yang sudah lama di kios. Kelapa yang baru datang, warna kulit arinya masih segar. "Jangan pilih kelapa yang masih muda, terlalu kental dan rasa santannya kurang gurih. Sebaliknya, kalau pilih yang terlalu tua rasanya gurih, tapi encer. Pilih yang sedang aja. Sekarang pilih kelapa dari yang keliatan aja udah tau mana yang bagus, mana yang jelek,” ungkapnya. Wajar beliau paham betul, Pak Darto sudah berjualan cendol di Jalan Semarang Menteng, sejak tahun 1981.
Nah, kalau tips tentang gula jawa lain lagi, “bikin gula juga rebusnya dari sore, kalau rebusnya mendadak nggak enak. Gula itu harus nginep semaleman, baru rasanya enak.” Menurut Pak Darto, gula jawa yang berwarna kemerahan paling cocok untuk cendolnya. Bukan yang hitam karena cenderung pahit dan bukan pula yang warna kekuningan karena kurang legit.
Ketika harga gula jawa naik, Pak Darto tidak berani ambil resiko mengganti resep dan takarannya.
Takut pelanggan-pelanggan fanatiknya protes.
Sementara, untuk mencukupi kebutuhan durian, Pak Darto punya langganan khusus. Dalam sehari bisa delapan sampai Sembilan buah durian habis. Pasokannya datang dari Palembang, Bengkulu, dan Lampung. Jika sedang musim dan berlimpah di pasaran, durian monthong juga digunakan. “Duren asalkan wangi pasti manis, tinggal ngaret apa enggak. Ngaret itu mateng tapi belum empuk, ya seperti karet gitu,”tuturnya.
Semakin lama kami mengobrol, semakin kagumlah saya dengan prinsip-prinsipnya dalam berdagang.
Pak Darto adalah orang yang sederhana dan tidak punya ambisi untuk meraup untung segunung.
Ketika saya tanya tentang rencana membuka cabang di lokasi lain, Pak Darto menjelaskan. “Jualan cendol kan nggak kayak buka warung rokok. Lain tangan lain rasanya.”
Walau hanya menjajakan dagangannya dengan gerobak dorong Pak Darto sangat memperhatikan kebersihannya. Menurutnya sebelum pembeli mencoba rasanya, yang dilihat pertama kali adalah tempatnya, bersih atau tidak.
“Melayani itu harus rajin, jangan males-malesan. Pembeli kecewa sekali,nggak akan mau lagi, nanti malah ngomong kesana kemari.”
Berbincang dengannya jadi mengingatkan saya akan keseriusan orang Jepang yang saya tonton di NHK TV. Senang, ternyata di Jakarta juga ada pedagang cendol yang jujur dan menjaga kualitas dagangannya.