Usai Lebaran

Satu bulan berpuasa, satu hari merayakan kemenangan di Hari Raya, seumur hidup dampaknya. So, kalau gitu, usai lebaran enaknya?
Usai lebaran enaknya makan apa ya? “Pengen yang ringan-ringan,” jawab seorang teman. “ Aku mau yang segar-segar, soalnya lebaran serba santan” sambung seorang kawan lagi. “Maunya, yang asin dan segar,” sahut yang lain. Rupanya, usai lebaran semuanya ingin balik ke selera asal. ke comfort food masing-masing, seperti halnya kehidupan, seolah ingin memulai segala sesuatu dari titik awal.
Ngomong-ngomong soal selera asal, atau comfort food, bisa jadi sambal, satu diantaranya. Sambal memang selalu dirindukan lidah orang Indonesia, apalagi setelah hari raya. Memang sih bukan tak hadir sambal saat lebaran kemarin. Sambal memang seperti tak pernah absen dari meja makan keluarga Indonesia. Tapi sambal juga punya signature pribadi loh.
Coba tengok dapur Indonesia. Dapur besar ini simpan banyak sambal di Nusantara. Ragam rasa dan warnanya. Sebut sajalah, sambal bajak, sambal terasi, sambal matah dari Bali, sambal dabu-dabu dari Menado, atau sambal ikan gabus, yang jadi inovasi dari ibu-ibu pengusaha rumahan di kisaran Jawa Barat. Bahannya tidaklah ribet, yang penting ada cabainya. Mulai dari cabai merah keriting, cabai merah besar, cabai hijau keriting, cabai hijau besar, cabai rawit merah asal Menado, atau cabai rawit hijau.
Sambal tak utuh kalau hanya cabai, harus ada kawan-kawannya, sesuai sambal yang dimaksudkan. Ada sambal yang pakai kemiri, bawang putih, dan bawang merah. Ada juga yang pakai ikan gabus, ebi kering, teri goreng hingga kacang tanah goreng. Kalau kawan-kawan dari seberang Jawa, ada yang membubuhi ganja untuk sambal daerahnya. Tapi, sebagus apa pun bahannya, kalau si pembuat sambal nguleknya tak piawi, bisa-bisa selera berantem di meja makan. Bukannya didapat sambal yang dimaksud, malah bikin speneng kepala, seperti kata orang Jakarta kalau lagi pusing kepala seperti mau pecah rasanya.
Pengulek memang punya peranan penting saat meracik sambal. Termasuk saat memilih cobek yang digunakan. Tapi, semua peran pengulek itu, bisa jadi ruwet kalau bahan-bahan sambal itu sendiri tak sepakat untuk percaya dan taat pada si pembuat sambal alias rela untuk dilumatkan. Coba bayangkan, kalau bahan yang satu dan yang lain berloncat-loncatan di dalam cobek. Bisa-bisa semalam-malaman waktu tak cukup membuat sambal yang dirindukan lidah.
Bayangkan saja, kalau si cabai merasa lebih penting dibanding kemiri misalnya, atau ebi meski tidak bahan utama merasa lebih berharga karena ada dia, maka sambal jadi punya signature sendiri. Repot nian si pengulek dibuatnya, bukan? Belum lagi kalau si garam, sebagai pengikat semua rasa dan meramu rasa menjadi harmonis (selama tidak berlebih atau kurang jumlahnya) tidak berfungsi. Baiklah garam itu dibuang untuk diinjak-injak pejalan kaki bukan?
Semua memang butuh taat pada si pengulek sambal untuk sampai pada tujuan. Kalau tidak, apalah arti berkumpul di cobek. Berbeda itu satu hal, kebersamaan untuk taat tidak terjadi karena keseragaman juga rupanya. Seperti saat pemilu lalu.
Usai lebaran sih, enaknya bukan salam satu atau dua jari, tapi salam tiga jari, yang artinya persatuan Indonesia. Trus bisa deh, salaman lagi dengan 5 jari bersilatuhrahmi bersama dengan Presiden dan Wakil Presiden baru. Duduk makan bersama di tikar dengan sambal koleksi dapur nusantara jadi salah satu comfort foodnya.
Kalau Anda jadi terpancing air liur, ingin nyolek sambal, cukup klik! www.rasamasa.com Ragam sambal pun akan hadir. Cukup taati petunjuknya, sambal yang dimaksud pun tidak akan melenceng rasanya. Sampai jumpa hari raya tahun depan!