Makan Bersama

Vintage Itu Laksa

vintage-itu-laksa
Luthfi Hasan, pemilik Jakarta Vintage Showroom, suka segala sesuatu yang bersifat vintage, termasuk laksa.

Di balik tawanya yang lepas, Luthfi Hasan menyimpan segudang ilmu, mulai dari komunikasi, dunia digital, media sosial, dan segala yang berbau vintage. "Yang termasuk kategori vintage adalah semua yang berusia 100 tahun. Kalau seperti furnitur yang usianya lebih dari 100 tahun, disebutnya antik atau tua. Buat yang satu ini, you don’t do anything, just preserve it. Tapi kalau vintage tidak masalah untuk dimodifikasi atau finishing-nya diganti-ganti. Yang penting bentuknya masih sama," papar Luthfi.

"Life is about looking forward, unless it’s vintage" adalah moto Luthfi saat mendirikan Jakarta Vintage Showroom. Kegemarannya akan vintage dipicu ketika orangtua Luthfi memberikan hadiah untuk pernikahannya. "Saya dapat satu set kursi beserta salon yang ada turntable dan radio yang dulu ada di kamar sewaktu kecil. Sejak itu, terjadi efek domino dari satu set furnitur hingga akhirnya yang lain-lain juga ikut vintage," kenangnya. "Awalnya ada etnik dan antik, tapi sejak 2010 saya baru fokus ke urban vintage yang sekarang. Karena ternyata etnik, apalagi antik, terasa berat , dan kurang fleksibel." Mendalami dunia vintage bisa dibilang merupakan terjemahan dari keinginan Luthfi akan sesuatu yang unik.

“I wanted something unique, something that reminds me of my happy childhood, “ kata Luthfi.

Itu kalau bicara soal furnitur. Bagaimana kalau soal dapur dan makanan?

Menurut Anda, masakan Indonesia mana yang termasuk vintage?

Laksa. Kenapa? Mungkin karena saya sudah tahu laksa sejak kecil. Waktu tinggal di Bogor, saya sering lihat tukang laksa keliling membawa pikulannya. Di sisi yang satu kuah, sisi lainnya bihun, dan sayuran. Sambil keliling, tukang itu mengetuk-ngetuk mangkuk dengan sendok. Sekarang bisa dibilang laksa sudah jarang, sama seperti kursi-kursi vintage yang jarang ditemukan. Lain dengan bakso yang dari dulu sampai sekarang masih mudah ditemukan. Tidak seperti laksa Malaysia yang berisi udang dan lain-lain, laksa kita isinya lebih banyak bihun, sayuran, daun kemangi, ayam, dan telurnya. Yang tidak bisa saya lupa juga kuning kuahnya itu.

Masakan favorit Anda sendiri apa?

Apa saja yang tradisional saya suka, seperti sayur asem dan lodeh. Ada satu lagi yang sepertinya sekarang sudah tidak ada juga, tapi minimal setiap lebaran pasti ada di rumah, yaitu sayur ase. Basically sayur ase itu sayur cabai hijau. Menggunakan cabai hijau banyak sekali, cabai yang digunakan cabai hijau keriting. Ditambah santan, jerohan ayam, seperti hati dan rempela, serta udang. Dimakannya pakai lontong atau nasi. Sebenarnya, rasanya tidak terlalu pedas, tapi karena banyak dan cabainya dibuka, jadinya pedas. Enak sekali, so I like it a lot. Kalau di rumah mertua, sayur asenya seperti itu, pakai santan. Sedangkan di rumah saya, ada juga sayur ase, tapi kuahnya bening tidak pakai santan. Menurut saya sayur ini sangat unik dan eksotis, karena tidak biasanya kita makan cabai hijau sebagai sayur.

Dapur rumah Anda yang berdesain vintage pernah masuk majalah Martha Stewart Living. Bagaimana tips mengawinkan dapur vintage yang harus dijaga dengan dapur yang bisa berfungsi sehari-hari?

Awalnya saya suka gaya bekas kayu kapal, tapi tidak bisa tambah furnitur karena sudah terlalu banyak. Kebetulan, saat itu dapur saya memang sudah rusak. Jadi, terpikirlah, menggunakan kayu tua warna-warni di dapur, semuanya pakai kayu tua.

Bicara soal desain dan fungsi, sebenarnya itu bukan dua dunia berbeda.

Vintage itu adalah gayanya, sedangkan dari sisi fungsinya, meja dengan kayu tua itu bisa kita lapisi waterproof coating supaya tahan air. Yang terpenting untuk dapur adalah pencahayaan, supaya kita bisa lihat jelas apa yang kita potong-potong dan masukkan ke panci. Sebisa mungkin pakai cahaya alami. Kedua yang penting, sirkulasi udara. Selain itu, ruang gerak yang leluasa juga tak kalah penting. Jangan sampai kita kejeduk sana-sini waktu masak.