Yang Hemat Obati Rindu

Sangat mudah menemukan bakso di seluruh penjuru tanah air. Tapi, di rantau sungguh lain kisahnya.
Dari survei kecil yang saya lakukan pada 23 teman wanita, 22 di antaranya mengaku penggemar bakso. Yang satu orang mengaku kurang mengidolakan, tapi kalau disuguhi tidak menolak, sih... Kesimpulannya, bakso adalah menu paling digemari wanita. Ada banyak model yang bisa ditemukan dari daerah ke daerah. Mulai bakso tradisional berpermukaan halus, yang berurat, berisi keju, telur atau jamur, hingga bakso tahu dan bakso goreng. Ada banyak tempat juga yang menjual bakso di tanah air.
Tidak seperti di Indonesia. Tinggal di Selandia Baru membuat saya sadar bahwa bakso bukanlah makanan yang mudah didapatkan di mana saja. Di sini, bakso hanya bisa ditemui di supermarket atau toko bahan Asia. Itu pun bukan semangkuk bakso lengkap dengan kawan-kawannya. Sesekali saya pernah membeli yang buatan Cina atau Thailand. Baksonya dibungkus vakum dan bentuk beku (frozen). Tapi, tekstur baksonya tetap kalah dengan buatan langganan bakso saya di Yogja. Harganya pun lumayan mahal. Satu bungkus berisi 10-15 butir dipatok seharga $8 atau sekitar Rp. 80.000, 00 (delapan puluh ribu rupiah).
Saya pun memutuskan belajar membuat bakso sendiri. Setelah browsing resep di internet, saya pilih yang bahannya tanpa pengawet atau zat kimia. Saya tahu, zat kimia seperti sodium tripolyphospat atau mixphosbisa bikin tekstur bakso lebih kenyal dan padat, tapi zat kimia ini sulit didapat di Selandia Baru.
Makanya, saya tertantang untuk membuat bakso sehat, walau saya sadar bentuknya tak akan sempurna seperti yang dijual di pasar.
Saya beli bahan bakso di supermarket: daging sapi cincang, tepung tapioka, bawang putih, dan kaldu sapi dengan modal terbatas. Total belanjaan $5-an, tapi saya yakin resep saya ini akan menghasilkan bakso dalam jumlah lebih banyak daripada beli bakso jadi.
Mengingat saya ini anak kos, alat masak juga sederhana. Jadi, daging cincang, tepung tapioka, bawang putih (sebelumnya saya parut manual), saya uleni dengan tangan sampai tercampur rata dan sedikit lebih halus daripada awal pembuatan. Lalu, adonan saya bentuk bola-bola dan direbus dalam air kaldu mendidih. Kalau bakso mengambang, artinya bakso sudah matang dan siap diguyur es batu supaya teksturnya lebih kenyal. Seperti dugaan, bakso buatan sendiri ini bentuknya tidak mulus. Teksturnya menggumpal bak jerawat batu, walau adonan sebenarnya sudah rata. Teksturnya juga tidak kenyal karena saya memang tidak pakai bahan pengenyal. Karena permukaannya kasar, bakso ini saya sebut Bakso Brundul (kalau brindil untuk rambut, kalau brundul maksudnya permukaan bakso yang menggumpal-gumpal itu).
Tapi, jangan salah. Don’t judge the book by its cover.
Prinsip saya, bentuk itu tidak penting selama rasanya enak dan bisa dimakan.
Saya bangga karena keluarga kos dan sahabat saya bilang bakso buatan saya enak dan layak dinikmati. Kuahnya juga gurih. Makin nikmat kalau ditambah irisan cabai rawit, sambal mentah, atau bubuk cabai. Saya jadi tertarik mencoba lebih banyak varian masakan lain yang bisa menggunakan bakso, seperti satai bumbu kacang, kebab, omelet, pizza, atau yang lain.
Yang lebih memuaskan, total belanja 5$ saya itu menghasilkan sekitar 38 butir bakso dengan ukuran sedikit lebih kecil daripada bola pingpong. Dengan asumsi satu orang makan 5 butir, resep saya bisa jadi 7-8 porsi. Untuk anak kos, tentu saja ini penghematan luar biasa. Rasa kangen makan bakso juga terbalas!