Dine With

A Cup of Tea in the Afternoon

a-cup-of-tea-in-the-afternoon

Wanita yang menjadi Ketua Dewan Teh Indonesia ini sibuk sekali. Selain berbagi pengetahuan tentang teh melalui kelas, Ratna Somantri juga menjadi kurator teh untuk Gaia, sebuah kafe teh yang terletak di Kemang.

Berkesempatan mewawancarai Ratna seputar kecintaannya pada teh seperti membukakan pintu bagi saya, yang lebih suka minum teh ketimbang kopi, karena rasanya lebih kalem. Selama ini, saya sulit mencari informasi seputar sejarah teh di Indonesia. Tak pelak, saya senang bukan kepalang  ketika bertemu dengan Ratna, yang pada hari itu tampil cantik dengan blus putih dan rok batik.

Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada teh?

Dulu saya tinggal di Cirebon. Mama memang berasal dari Cirebon, sementara Papa dari Tiongkok. Jawa Barat dan Tiongkok itu punya dasar yang sama, yaitu peminum teh. Biasanya, kami minum teh tanpa gula dan melati. Mama suka sekali menyajikan teh dan selalu bilang, menyeduh teh itu ada caranya. Padahal Mama tidak pernah belajar tentang teh. Keluarga Papa juga sering kirim teh, biasanya jenis oolong karena keluarga Papa berasal dari Tiongkok Selatan.

Ketika pada tahun 2003 saya belajar di Le Cordon Bleu, Sydney, saya menemukan satu toko yang menjual sekitar 500 jenis teh. Waktu itu, di Jakarta belum seperti sekarang, belum banyak toko dan kafe yang menjual teh. Sejak itu, saya mulai belajar dan menemukan bahwa teh itu menarik sekali. 

Seperti apa pengalaman Anda sebagai penggiat teh dan mungkin salah satu dari sedikit orang yang mendalami soal teh, khususnya teh di Indonesia?

Sebenarnya, pencinta teh yang punya pengetahuan seputar teh di Indonesia itu banyak. Namun, biasanya mereka berasal dari kebun teh, baik bekerja di sana atau pemiliknya. Orang-oran ini biasanya sangat rendah hati dan sibuk. Walhasil, mereka punya pengetahuan tentang teh, namun hanya seputar teh yang mereka produksi. Di samping itu, waktunya juga sudah habis di kebun teh. Salah seorang teman saya bekerja di perkebunan teh dan menjadi salah satu penyuplai teh di Gaia. Ketika tercetus ide untuk membuat institut atau kelas teh, dia malah menolak untuk mengajar. Jadi, saya bilang padanya, “Oke, kamu ajari saya, nanti saya yang ngajar.” [tertawa]. Saya sendiri berprofesi sebagai konsultan dan teh ini sebenarnya adalah hobi yang keterusan. Saya tidak punya keahlian lain yang bisa dibagikan selain teh. Sementara, hidup pun harus seimbang antara bekerja dan hobi.

Bicara soal tradisi teh, di Jepang ada upacara minum teh, yang menjadi salah satu kebudayaannya. Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, kita punya teh poci, yang saat diminum itu gulanya tidak boleh diaduk. Ini sesuai dengan filosofi Jawa, yang pahit dulu, setelahnya baru yang manis. Di Jepang, Tiongkok, dan Inggris, teh itu adalah bagian dari kerajaan. Sementara di Indonesia, zaman dulu kita menanam teh untuk orang lain (VOC Belanda). Namun, Keraton Yogyakarta punya upacara minum teh yang disebut Patehan. Sultan Yogyakarta waktu itu berkata, “Kita pribumi pun bisa sejajar dengan bangsa asing.”

Anda memperkenalkan teh premium di Gaia, sementara orang Indonesia terlanjur familiar dengan teh celup atau teh dalam kemasan botol. Ada kekhawatiran dalam memperkenalkan macam-macam teh premium Indonesia?

Tentu saja ada, tapi saya tetap berpikir positif. Pernah ada yang bilang pada saya, “Lupakan saja usaha memperkenalkan teh premium. Kita terlalu familiar dengan teh celup dan teh botol.” Sedih, sih, dengarnya. Tapi kita hanya bisa berusaha, tidak mau terlalu ngoyo. Karenanya, kami mendirikan Gaia dalam skala kecil dulu dan tidak hanya menjual teh, melainkan juga ada kue-kue dan peralatan menyeduh teh. Ke depannya, kami berharap Gaia bisa menjadi rumah untuk kelas-kelas pengajaran teh.


Ratna Somantri, Kurator Teh