Antara Jakarta Hanoi Dan London

Suatu sore yang mendung, satu hari sebelum Oktober berlalu, saya minum teh bareng Ibu Retnowati Abdulgani Knapp di kediaman keluarganya di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Ditemani secangkir teh hangat, obrolan kami dibuka dengan pertanyaan yang mengejutkan saya. “Bagaimana, sudah ditangkap malingnya?” tanyanya.
Di sela kesibukannya membagi waktu antara tiga kota, Jakarta, Hanoi, dan London, wanita yang menikah dengan Hubert Knapp, pria asli Jerman, ini rupanya tahu saja kalau kantor Rasamasa baru saja kemalingan (Terima kasih bapak-bapak Polisi Polsek Menteng, malingnya sudah ditangkap). Perhatiannya ini membuat obrolan jadi lebih cair. Putri kedua almarhum Dr. Roeslan Abdulgani (menteri luar negeri pada masa Soekarno dan Duta Besar RI di PBB pada awal era Soeharto) bercerita tentang hidupnya. Dari cita-citanya semasa kecil yang ingin jadi penjual es lilin, lalu berubah ingin jadi pramugari saat SMA, karena melihat pilot-pilot ganteng. Begitu lepas usia 50 tahun, atas dorongan suami, ia memulai perjalanan hidup sebagai penulis.
“Saya mau menulis buku lagi, Dik,” tuturnya pada saya. “Kali ini bukan biografi, seperti dua buku saya terdahulu.”
Wati, demikian panggilannya, memang memulai sebagai penulis biografi dengan menorehkan kisah hidup sang Ayah, lewat buku A Fading Dream: A Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia (diterbitkan oleh Times Book International, Singapura, pada 2003). Buku keduanya adalah biografi presiden kedua NKRI, Soeharto, yaitu Soeharto, The Life and Legacy of Indonesian Second President, yang pertama kali diluncurkan di Singapura, lalu Jakarta, pada 2007.
Setelah buku terakhir yang menuai kontroversi itu, Ibu mau menulis apa?
Kali ini soal Freeport. Saya sedang mengumpulkan data-datanya. Pengalaman bekerja di Bank of America dan Chase Manhattan Bank di New York selama 10 tahun bisa menjadi bekal saya mengenal Amerika. Semoga buku ini bisa cepat saya selesaikan.
Katanya, kalau sedang menulis Ibu ditemani makanan dan alunan musik, ya?
Ya, musik klasik, pastinya. Selain Mozart, saya suka Unfinished Symphony dari Beethoven. Nah, kalau sudah asyik menulis saya malah sering lupa makan! Tapi kalau sudah lapar karena letih menulis, saya pasti cari nasi. Buat saya, makan itu entertaining, bukan keharusan.
Makan itu entertaining, apa maksudnya?
Saya suka memasak sekaligus menjamu. Di London, Hanoi, maupun Jakarta, bisa dipastikan hidangan Indonesia hadir di meja makan keluarga kami. Saya senang menjamu makan sambil duduk bersama di meja, kecuali di Jakarta, lebih sering prasmanan.
Saat menjamu, ada pertukaran ide. Sekaligus mempromosikan Indonesia.
Saya senang kalau makan sambil ngobrol, bukan seperti umumnya orang Indonesia, habis makan wis mulih (ya sudah, pulang).
Suami saya bilang, saya itu Chief Entertaiment Officer. Saya memang suka bergaul, melalui makanan, diplomasi terasa lebih cair. Akhirnya hidangan Indonesia dipromosikan, bukan?
Ibu suka masak, dong?
Buat saya cooking is an art. Inilah kesempatan untuk berkreativitas. Kalau masak, saya itu merdeka dari aturan-aturan. Istilah saya, “cemplang-cemplung, up to you”. Jadi, kalau saya masak hidangan Indonesia, bahan-bahan atau bumbu yang sulit didapat jangan jadi hambatan. Kreativitas itu perlu, namun tidak menghilangkan identitas Indonesia. Kalau pulang dari Jakarta, oleh-oleh saya pasti aneka bumbu masakan Indonesia siap pakai, kecap, emping, dan banyak lagi. Saya senang yang praktis.
Menurut pengakuannya, menyajikan hidangan Indonesia saat menjamu tamu juga merupakan diplomasi, tidak hanya mempromosikan Indonesia.
“Kita harus percaya diri pada hidangan khas Indonesia. Saya bangga sebagai orang Indonesia dengan kekayaan kulinernya. Pemerintah harus ikut campur, makanan Indonesia harus menjadi sarana diplomasi Indonesia di era globalisasi ini,” katanya.
Rasanya, percakapan ini sarat makna, pikir saya sambil menyeruput teh dari cangkir kedua saya. “Jangan lupa e-mail, ya, Dik,” salam penyuka tai-chi ini dengan hangat, saat saya pamit.