BBQ And Nasi Liwet

Ada yang istimewa sincia yang baru saja lalu itu. Saya suka hari itu..
Seorang kawan yang juga seorang dosen sekaligus penggiat pemberdayaan masyarakat di kampung-kampung, mengundang saya BBQ-an. Keraguan saya tuk join terhempas karena begitu semangatnya kawan ini merancang dan mempersiapkan acara, padahal dia baru satu hari lalu pulang dari rumah sakit usai biopsi karena ada dugaan kelenjar tumbuh di jaringan payudaranya.
Meski masih dalam keadaan was-was menunggu hasil patologi, bergeming kawan itu. Volume tawanya pun tak berubah, sama saja seperti ketika dia sehat. Tak ayal lagi, saya pun tertular semangat pantang mundurnya. Sebab itu pula, ketika seorang kawan yang sudah janji akan jadi rekan seperjalanan menuju lokasi acara membatalkan janji secara tiba-tiba karena kurang bijak menata waktu, saya pun tak apa jadi zorro alias lone ranger dengan commuter. Bertambahlah pengalaman saya soal perkeretaapian di Indonesia.
Sungguh tak dapat saya tutupi kegembiraan menghirup bersihnya stasiun kereta api. Norak saya! Toiletnya pun bersih, pagi-pagi mata ini sudah menangkap kegiatan bersih-bersih para karyawan PJKA. Tak hanya itu, petugas keamanannya pun jauh dari kesan sangar. Tubuhnya memang kekar, kulitnya pun cokelat terbakar, tapi senyumnya itu, ramah nian. Asli, wajah saya sumringah bukan kepalang. Baru kali ini rasanya saya puas jadi konsumen PJKA di negeri sendiri.
Tempat kami bikin acara BBQ-an juga tak kalah menarik dan seru, ada di tengah-tengah timbunan sampah yang bernilai ratusan juta dan tidak bau busuk! Kawan ini, memang punya jabatan pembantu rektor di sebuah universitas swasta terkenal yang punya mahasiswa berduit, tapi tak gengsi tangannya kotor karena sampah! Tanah 1000 meternya ditata sedemikian rupa menjadi ruang terbuka (out door) dan tertutup (in door). Menjadi lokasi yang menyenangkan dan rileks.
Meski derai hujan turun deras tak menjadi halangan buat kami bakar-bakar ikan dan aneka sosis. Alatnya? Tentu tidak seperti di dapur di rumah-rumah pada umumnya dimana ada oven, panggangan disco yang praktis, atau wajan happy cal yang katanya bagus untuk kesehatan. Di sini, yang pantas adalah alat bakar dengan arang dan batok kelapa jadi bahan bakarnya.
Tak hanya ikan-ikan dan sosis, aneka buah-buahan juga berlimpah di sini. Sebagi penyuka buah dan ikan bakar tentu senyum di bibir ini pun makin merekah, apalagi saat indra penciuman ini menangkap aroma durian. Alamak! What a wonderful day… Hari ini adalah hari yang disediakan-NYA buat saya untuk bersyukur dan bersyukur.
Tambah bersyukur lagi, saat makan siang, nasinya, nasi liwet buatan sendiri. Ngeliwetnya pakai alat tradisonal, priok besi tempa yang sudah sangat jarang ditemukan di dapur ibu-ibu masa kini yang suka kepraktisan. Wadah bersantapnya juga sangat bersahabat dengan alam, daun pisang utuh yang ditebang dari pohon pisang jadi piring makan kami. Tak perlu dicuci, cukup mempraktekkan pesan nenek, gunakan sisi daun yang berwarna hijau redup, alias penampang daun bagian dalam. Saat nikmat bersantap, seorang kawan nyeletuk, “makan ala orang India nih, sayang tak ada tiang tembok di sini.”
East meet West terasa makin kental hari itu. Kemesraan dan kehangatan diantara kami pun makin hangat meski tingkap-tingkap langit masih mencurahkan hujan, membasahi tanah yang masih lembab.