Cepetan ‘Dikit Dong!

Terinspirasi dari sebuah tayangan di dunia maya soal memasak dan percakapan bersama kawan, maka tertuanglah buah pikiran ini. Dalam tayangan di dunia maya yang saya saksikan dipaparkan bagaimana memasak masakan Indonesia yang sudah melegenda, rendang. Namun, dari tanyangan itu saya jadi merasa tergugat sebagai orang Indonesia yang suka makan rendang. Gimana nggak, kalau masak rendangnya tidak seluruhnya menggunakan santan, melainkan dicampur dengan air.
Tak hanya sampai di situ ketergugatan saya, berlanjut saat adegan bumbu-bumbu ditumis terlebih dahulu, baru dimasukkan potongan daging, dan adegan terakhir ini juga mengugat pemahaman saya soal rendang, lembaran utuh daun kunyit segar dijadikan garnis rendang. Seorang teman asal Bukit Tinggi, yang tentu saja sangat akrab dengan rendang, ternyata juga ikut tergugat. Apalagi saat kami ketahui arti rendang itu sendiri. Rendang atau merandang adalah sebuah proses memasak hingga menjadi sebuah hidangan seperti, rendang ayam, rendang telur ikan, rendang kentang, dan yang sangat ngetop rendang daging. Rasanya pun seribu satu macam.
Beranjak dari arti rendang itu, rasanya normal kalau saya tergugat. Soalnya saya bukan pengikut William Shakespeare yang berucap, “ apalah arti sebuah nama.” Saya justru penganut, arti sebuah nama.
Mundur sejenak, saya jadi teringat percakapan saya dengan seorang kawan tadi. Bincang kami berisi atas nama, “cepetan dikit dong!”. Apakah atas nama cepetan dikit dong ini soal memasak rendang tadi terjadi penciutan makna, penciutan proses, penciutan rasa, dan masih banyak penciutan-penciutan lainnya? Oh ya, usai menonton pembuatan rendang itu, teman asal Bukit Tinggi tadi, berujar, “ itu mah kalio daging.” Ehm..sebuah penciutan ternyata menghasilkan “wajah baru”! Lalu, proses apa yang sedang berlangsung saat itu? Kreativitas 'kah? Ketidaktahuan, atau justru ketidakpedulian? Sejenak saya tercenung mengingat Rasamasa juga punya rubrik Masak Di Rantau. Trus gimana dengan kawan-kawan asli Indonesia yang merantau ke (di) negeri orang? Ada banyak kondisi yang terasa lebih layak untuk bilang, cepetan dikit dong di negeri orang bukan?
Kalau sudah begini, patutkah saya kuatir akan autentisitas kekayaan masakan Indonesia tergerus oleh generasinya sendiri? Kalau ia, bagaimana dengan nasib hidangan Indonesia lainnya, yang notabene identitas bangsa (Indonesia) kita?
Sekarang saya lebih mengerti makna perbincangan dengan kawan tadi, jangan sampai atas nama cepetan dikit dong itu menjadi gaya hidup saya. Dimana lagi kendali saya kalau serba cepetan dikit dong bagian dari prinsip hidup? Wah saya tidak siap kalau tidak ada lagi ruang untuk proses yang tidak dipercepat atas nama "instant food".