Cooking Abroad

Durian Oh Durian!

durian-oh-durian

Aroma itu pernah akrab dengan saya, namun belum pernah saya baui dan cicipi lagi selama 11 tahun lebih tinggal di Selandia Baru. This can't be true, it can't be durian, kata saya, berusaha menyangkal.

Penasaran, saya percepat langkah menuju sumber aroma. Menjelajahi area buah-buahan sembari membayangkan gundukan durian segar menjulang tinggi, seperti yang ada di pasar, supermarket, atau penjaja durian musiman pinggir jalan di Indonesia. And you know what? Cari punya cari, ternyata buah berduri itu berada dalam salah satu freezer box, berselimutkan es. Frozen!

Saya tak sempat kecewa karena luapan kegembiraan yang tiada tara bak menemukan sebongkah emas lebih menguasai hati. Saya lantas menduga-duga, seperti apa jadinya buah durian ketika dibekukan sak kulit'e? Apakah akan tetap segar ketika dibelah? Apakah rasanya akan seenak durian segar?

Penasaran, saya beli satu buah, dengan total harga $24 dolar lebih. Bisa Anda bayangkan betapa besar durian yang saya pilih, harga per kilonya $6 dolar lebih! I'm not to blame, people. I love durian. Meski begitu, saya masih harus bersabar membiarkan durian pada suhu ruang dan menunggu hingga esok hari untuk bisa membelah dan menikmatinya.

Surprisingly, ketika dibelah, aroma durian segera menyeruak keluar dari cangkangnya, menusuk indera penciuman saya, juga suami dan anak-anak yang sedang berkumpul, karena ingin tahu seperti apa durian itu.

Anak-anak segera mengernyitkan hidung dan beranjak pergi dengan sopan, sambil bilang ke saya, “Not for us. Thanks, Mum.” Sementara suami berusaha tetap di tempat sambil ikut mencolek daging durian dengan jari telunjuknya, mengulum rasanya, berdecap-decap sesaat. Lalu, sambil menoleh ke saya dia berkata lembut, “I think I love mangoes the best.” Itu artinya, saya bebas menikmati durian utuh tanpa saingan! Isn't that great!

Sejak Desember lalu, sudah 7 buah durian saya lahap dan sudah sekitar $200 saya habiskan demi kenikmatan ini (and I'm sure it's still counting up, at least until the season is finished). Olahannya pun beraneka ragam, dari kue tumpu banda hingga pancake durian. Saya lebih suka durian hungkul, durian utuh. It's my personal preference, really. Saya menikmati the naked sensation of durian yang eksotis dan mahal itu, meresapi setiap seratnya yang lumer di mulut, mengulum dagingnya yang lembut dan manis.

Membiarkan aromanya menguasai seluruh panca indera, driving my senses to a place near the Heaven,...

Mahalnya harga durian monthong Thailand ini membuat saya menikmatinya sedikit demi sedikit, sambil menghargai setiap dolar sen yang mengalir. Betapa tidak? Jika teman-teman di Indonesia bisa menghabiskan 3-7 durian dalam satu hari dan hanya membayar paling tidak Rp 15.000/buah (hanya setara $1,49), no matter how heavy the fruit is, saya harus membayar kurang lebih $200 (Rp2.011.887,00) untuk 7 buah durian dengan harga per kilo $6,49 (Rp64.987,00)! So, it makes sense kalau saya lebih suka menikmati buah durian tanpa mencampurnya dengan bahan-bahan lain, yang terkadang malah mengganggu kenikmatan rasa asli sang King of the Fruits ini.

Namun ada satu olahan kuliner yang saya suka, es buah durian! Durian disajikan apa adanya dengan aneka buah-buahan segar lainnya. Semua buah saya pilih sesuai yang tersedia saat musim panas di Selandia Baru, tanpa tambahan buah kalengan. Coconut milk dan sugar syrup berperan sebagai base es buah durian, sementara tapioca pudding melengkapi kesegarannya.

With a drizzle of sweetened condensed milk on top of whole durian fruits and shaved iced or ice cubes, this desserts is a phenomenon! Trust me.