Menikmati Rengginang Di Musim Dingin

Musim dingin yang baru saja berlalu, membuat saya mendadak kepingin makan rengginang. Rasanya yang gurih dan renyah itu sempat terbayang-bayang beberapa hari di benak saya. Sempat saya menelepon Ci Yuli, pemilik Tofu Shop yang menyuplai bahan-bahan makanan Indonesia di Auckland. Sayangnya saat itu dia sedang tidak menjual rengginang.
Kecewa, akhirnya saya memutuskan membuat rengginang sendiri. Namun, saya baru ingat bahwa saya tidak punya simpanan beras ketan di pantry. Sudah lama sekali saya tidak menyimpan beras ketan, karena toko bahan makanan Asia di daerah saya tidak menyediakannya. Terakhir ke sana, toko nyaris kosong melompong dan terpaksa gulung tikar karena ternyata tidak banyak masyarakat Pukekohe yang berbelanja bahan masakan Asia. Apa boleh buat, kami terpaksa berbelanja ke supermarket umum, tapi tak berhasil juga. Terpaksalah saya menelan kerinduan beberapa minggu lamanya.
Suatu hari suami meminta saya membuat daftar belanja berisi bahan makanan Asia yang dibutuhkan. Dia akan berbelanja ke Lim's Supermarket, sebuah supermarket khusus bahan masakan Asia, yang terletak di daerah Mount Eden, Auckland (sekitar 1 hingga 1½ jam dari rumah kami di Pukekohe, atau sekitar 10 menit dari kantor suami), sebelum berangkat ke kantor.
Pucuk dicinta ulam pun tiba! Saya segera membuat daftar panjang, yang membuat suami tersenyum maklum. Keesokan harinya, saya pun bergegas membuat rengginang dengan cara pembuatan yang masih saya ingat dari pengalaman selama bermalam di rumah sahabat saya, di Desa Pari, Sumedang, Jawa Barat.
Saat itu ibundanya sedang membuat rengginang. Seingat saya, ia memasak beras ketan yang sudah dibumbui dengan bumbu-bumbu sederhana di dalam langseng dengan aseupan atau kukusan bambu berbentuk kerucut. Setelah beras masak dan dingin, saya membantu mencetak rengginang-rengginang secara manual, yang diletakkan di atas nampan bambu, kemudian dijemur di atap rumah. Ketika pamit pulang ke Bandung dua hari kemudian, saya diberi oleh-oleh beberapa bungkus rengginang yang telah digoreng, yang menjadi cemilan selama perjalanan. Hmm... rengginang homemade memang tiada bandingnya!
Kalau mau membuat rengginang. Berarti, saya perlu sinar matahari! Melihat ke cakrawala Aotearoa, matahari tak nampak, awan-awan kelabu baris berjajar membungkus langit. Hampir setiap hari di musim dingin kami tak bisa melihat langit biru, karena hujan terus-menerus mengguyuri bumi Kiwi.
Matahari muncul hanya sesekali, itu pun tak pernah sampai membuat kulit gosong. Nah, bagaimana saya bisa membuat rengginang di musim dingin seperti ini? Perseverance, jawaban saya, sederhana saja.
Saya bikin sajalah. Whatever happens, happens. Dengan harapan supaya hari itu ada sinar matahari, saya mulai memasak rengginang sambil menjelaskan pada anak-anak. Mereka biasanya selalu melontarkan pertanyaan ketika saya memasak sesuatu yang belum pernah mereka makan sebelumnya. Mereka pun antusias ingin menyicipi hasil akhirnya. “Yah,” kata saya, “let's just pray it's going to be sunny today.” Entah karena Tuhan kasihan pada saya atau karena doa saya yang tulus, sore hari itu matahari merayap keluar dari tumpukan awan.
Saya menjemur rengginang, tidak di atas atap rumah karena di tempat saya masih banyak burung, melainkan di atas jemuran pakaian lipat yang diletakkan di atas beranda samping. Walhasil, rengginang baru kering setelah 4 hari dijemur. Tetapi, alhamdulillah, akhirnya kerinduan saya terobati. Anak-anak makin memahami Indonesia lewat pembuatan rengginang. Dan saya pun bertekat akan banyak membuat rengginang pada musim panas nanti!