Dine With

Menyimak Makanan Ala William Wongso

menyimak-makanan-ala-william-wongso

“Makan itu mikir,” tutur William Wongso, yang mengumpamakan dirinya sebagai filantropis rasa. “Bedanya dengan filantropis biasa, yang tinggal berupa benda. Kalau filantropis rasa, hanya tinggal di memori. Jadi sambil makan saya berkomunikasi dengan memori. Rasa ingin tahu makin kuat menyeruak. Ini yang saya sebut ‘menyimak’ makanan.” Kata-kata ini membuat Rasamasa jadi penasaran. Dan, acara brunch dengan soto di Soto Pak Sadi, Jl. Wolter Monginsidi, pun mulur hingga lunch time.

Seperti apa makanan masa kecil Anda?

Saya gede dengan makanan jalanan. Sejak kecil dibiasakan jajan makanan oleh ayah yang seorang fotografer kepresidenan. Dari tahu campur gerobakan, tahu tektek, rujak soto, soto gubeng, rendang, dan banyak lagi. Rumah kami dulu dekat penjual soto gubeng, jadi tinggal pesan. Dan, ayah kalau ngajak saya ke mana-mana acapkali makan makanan Padang. Dia suka bilang, kamu bisa makan lauknya satu dan kuahnya macam-macam, gratis pula..ha..ha..ha..

Jadi, di rumah enggak pernah masak?

Masak. Ayah yang masak. Ayah asli dari Tiongkok, sementara ibu peranakan cina, tidak masak. Makanan di rumah kami justru kental akan home cooking-nya Indonesia. Ayah sarapan soto madura hampir setiap hari, dia suka sekali. Sedang saya suka tahu, dari tahu bandung, cirebon, hingga tahu kediri. Favorit saya tahu goreng. Kalau nenek saya, tuh, sarungan, orang yang jagain dapur.

Dulu, nenek bikin bumbu dasar dari bawang putih dihaluskan atau diparut, lalu dilumuri ke potongan-potongan tempe yang sudah dikeringkan. Disimpan dalam stoples yang setiap hari dijemur selama 2-3 jam di bawah panas matahari, selama satu bulan. Warnanya jadi hitam dan makin lama warna hitamnya makin pekat. Bumbu ini bisa tahan sampai setahun. Makin lama makin terasa enak. Apalagi, kalau ditambahkan satu sendok sambal kecap, enaknya luar biasa!

Saya berkembang seperti sekarang karena senang cari wawasan makanan, suka ngulik macam-macam rasa. Seperti bumbu bawang putih nenek saya itu, ternyata mirip wadagam di India, hanya di sana bahannya lebih kompleks. Sekarang, lagi ngetop black garlic. Itu juga hasil fermentasi, rasanya sudah tidak bawang putih lagi malah lebih keplum. Nah, ternyata kita juga punya bumbu bawang putih fermentasi seperti itu, bisa jadi kita baru tahu, atau mungkin hanya nenek saya yang tahu? Ha..ha..ha.. Who knows?

Apa makanan Indonesia favorit Anda?

Selain Jawa Timuran, saya suka Aceh, karena cara mengolah bahan dan bumbu beda dengan provinsi lain. Juga beberapa makanan Batak, meski variasinya tidak banyak. Makanan Melayu-Sumatera saya juga suka. Makanan Bangka menurut saya adalah satu-satunya perkawinan rasa dapur Cina dan lokalnya bagus, melebur dalam rasa baru. Beda dengan Pontianak yang tetap jelas rasa Tio Ciu-nya.

Kalau menjamu tamu asing di rumah, ada saran menu Pak?

Harus pede dengan menu Nusantara. Wong kalau saya diundang ke suatu negara, mereka juga menyajikan hidangan lokalnya kok. Orang Barat itu suka salad, asinan Jakarta, atau asinan Bangka bias jadi hidangan pembuka. Kalau mau sup, ada rawon. Bumbunya tinggal 1/3 dari biasanya, jadi warna tidak terlalu hitam. Untuk appetizer, lumpia saja. Hidangan utama, tergantung asal nyonya rumah. Satai dan rendang selalu jadi favorit. Tumpeng juga bisa, ini sudah menjadi simbol makanan Indonesia sekarang. Di Montecarlo, baru-baru ini menu tumpeng nusantara dihargai 78 Euro untuk 2 orang. Laku keras, lho! Nah, kalau dessert, pilih kue lumpur dan kolak. Orang Barat suka dessert yang basah dan ada sausnya. Pilihan lain, serabi, putu mayang, klappertaart, atau jongkong.

Jadi, bagaimana cara menjaga dan membuat makanan Indonesia makin popular?

Mulailah masak di rumah, enggak perlu setiap hari. Bukan masak asal matengin makanan, tapi masak dengan landasan kuliner. Misalnya, kalau masak soto jangan hanya sekadar soto. Tapi harus jelas mau soto apa. Soto lamongan? Soto madura?

Jadi, ada percakapan dan pengulikan pengetahuan kuliner dengan orang rumah dan diri sendiri.

Nah ini juga yang saya bilang pada orang-orang muda. Jangan hanya tahu supermarket. Perlu blusukan ke pasar tradisonal, ke tempat-tempat makan otentik di Nusantara. Untuk melakukan ini memang mahal, enggak ada yang gratis.

Kalau wisata kuliner jangan hanya makan saja, tapi harus tanya, “Ini apa, ya?”