Blog

Papeda, Stranger in Its Own Land?

papeda-stranger-in-its-own-land

Nonton Kick Andy di Metro TV, yang lagi ngupas Undercover Papua produksi Alinea, mengingatkan saya akan papeda saat jumpa di Ambon lima tahun lalu..

Kopi, kenari, dan papeda, tiga harus yang saya nikmati di tanah Ambon pada kesempatan liburan Mei 2010 lalu. Dua yang pertama bisa dengan nyantai dan asyik saya nikmati kelezatannya. Yang ketiga? Tunggu dulu, saya butuh waktu untuk memahami dan akhirnya bisa bilang enak . Tak bisa dipungkiri, kala coba makan berkali-kali papeda meleset tiba ke dalam mulut saya. Licin sekali, padahal sudah pakai sendok khusus yang bentuknya seperti sumpit (dua bilah) untuk mengambil adonan sagu yang lengket itu.

Sudah diajarin pun cara menyendokkannya dengan sendok khusus itu, caranya, masukkan sendok khusus papeda ke dalam adonan yang masih panas, lalu putar-putar dengan cepat. Setelah itu, segera masukkan adonan sagu itu ke dalam piring berisi kuah kuning. Tak cuma itu, trik menyantap pun sudah dibisikkan, seruput papeda dari tepi piring sembari minum kuah kuningnya. Akhirnya, tiba juga papeda kuah kuning di dalam mulut saya dengan selamat. Nikmati dan segar, tubuh yang dingin karena terserang udara pantai menjadi hangat, disantap dengan kawannya yang lain, ikan bubara bakar hasil perairan Maluku..lezat nian, terkenang sampai hari ini…

Dulu, sebelum ke Ambon dan jumpa rasa lokal papeda, hidangan itu hanya sebatas pengetahuan saja di benak saya. Dan, tak ada pula keinginan kuat untuk mencoba ke restoran Papua yang ada di Kelapa Gading itu, misalnya. Kalau pun mau memanggil memori, lebih parah jadinya, papeda mengingatkan saya akan lem. Perekat yang di masa remaja dulu sering saya lihat digunakan untuk melem kantong beras yang terbuat dari recyle papper, seperti kantong semen atau kertas koran.

Dan kini, saat saya nonton Undercover Papua Alinea malam itu, ingatan akan papeda pun menyeruak ke permukaan, berlompat-lompatan mengembalikan scene-scene saat saya menikmatinya di Ambon dulu. Terlebih saat Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mempertontonkan scene kala seorang Bapak membuat papeda untuk menjamu rombongan mereka di Papua. Menurut bapak itu, membuat papeda itu susah-susah gampang, ada tip dari beliau, saat mengaduk sagu telah terlebih dahulu cairkan sagu dengan air dingin, kemudian kala dituangi air panas lakukan secara bertahap, dan tidak boleh buru-buru, butuh kesabaran saat mengaduknya. Pastikan tercampur rata saat mengaduk agar tidak ada bagian yang mentah.

Senang saya malam itu, bisa memahami mimik kebanggaan beliau pada papeda dan bisa ikutan setuju dengan beliau bahwa papeda itu enak dan bernutrisi. Sampai di situ, emosi saya happy..Tak berapa lama kemudian, emosi saya terganggu, berubah menjadi sedih, bukan karena papeda buatan beliau tidak jadi loh, lebih karena mendengar ungkapan pikiran beliau, bahwa papeda sekarang bagaikan makanan pendatang di tanah Papua. Padahal. Padahal setahu saya, papeda itu tradisi kuliner masyarakat adat di Kabupaten Mappi, Asmat, hingga Mimika. “ Dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan Abrab di danau Sentani dan Arso serta Manokwari, “ menurut Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben.

Lha, kok bisa, papeda jadi makin asing di tanah lahirnya sendiri? Mengapa, Bagaimana mungkin?” Bathin saya. Dalam scene Cover Papua itu, Beliau pun mengungkapkan penyebabnya, “ harga sagu semakin melambung tinggi, sedikit saja kita peroleh harganya sudah Rp. 30.000-an,” ujarnya. Saya langsung membayangkan sebungkus mi instan! Sebungkus mi instan di warung murah. Harganya sungguh terjangkau oleh siapapun (rasanya), praktis, cepat pula memasaknya, dan rasanya tak bisa dipungkiri cocok dengan lidah saya yang orang Indonesia ini. Tak kalah penting, tentu saja mengenyangkan perut…